Hello, precious people!
Mau nanya nih, kalian ngikutin kasus “Jenderal Sabu” nggak? Itu tuh, si Pak TM mantan Kapolda Sumatera Barat. Menurutku kasus itu nggak kalah menarik, loh. Karena kasus TM, jaksa penuntut umum menuntut pidana meninggoy. Kalau di kasus FS kemarin, itu kan hakimnya yang menjatuhkan vonis pidana mati
Meski nggak seheboh kasus Pak FS, tuntutan jaksa juga menimbulkan pro dan kontra terhadap hukuman mati. Ada yang berpendapat, “Ya, nggak papa, biar nimbulin efek jera. Jadi, orang takut untuk melakukan hal yang sama.” Ada juga yang berpikiran, “Masih jaman kah, hukuman mati? Kek, zaman jahiliah aja.”
Yang jadi pertanyaan adalah, masih layak kah ada hukuman mati di zaman sekarang?
Menarik ye, mari kita bahas!
Sekilas Tentang Hukuman Mati
Menurut UU Nomor 2/PNPS/1964, hukuman mati di Indonesia dilakukan dengan cara menembak mati. Nah, terkait pengaturan umumnya, aku bakal coba uraikan dengan UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP (kita sebut KUHP lama), lalu dibandingkan dengan UU. No. 1 Tahun 2023 (kita sebut KUHP baru). Oke!
Jadi, dalam KUHP lama, Pidana Hukuman Mati diatur pada Pasal 10 KUHP yang pada pokoknya menyebutkan jika jenis pidana itu ada dua, yaitu sebagai berikut.
Pidana Pokok
- Pidana mati
- Pidana penjara
- Pidana kurungan
- Pidana denda
- Pidana tutupan
Pidana Tambahan
- Pencabutan hak-hak tertentu
- Perampasan barang-barang tertentu
- Pengumuman putusan hakim
Kalau kata dosenku, dikaji dari teori tujuan pemidanaan pada KUHP lama itu masih menganut tujuan klasik – neo klasik. Ya, bahasa kasarnya mah, masih kuno alias klasik gitu. Menurut pandangan klasik tujuan pemidanaan adalah penghukuman untuk menimbulkan efek jera. “Lu bunuh orang yah, lu dibunuh juga.” Pernah dengar istilah “Mata dibalas mata?” Nah, kek begitu lah kira-kira.
Sedangkan neo-klasik, nggak sepenuhnya menunjukkan pidana sebagai pembalasan, melainkan pembinaan. Ya, agak lebih manusiawi sih, kata orang-orang.
Nah, semenjak dikeluarkan KUHP baru, pidana mati dapat menjadi pidana alternatif, yang menjadi upaya terakhir. Karena apabila terpidana hukuman mati tersebut tobat, maksudnya berkelakuan baik selama 10 tahun, maka nggak jadi dihukum mati.
Cukup kontras, kan? Ya, karena KUHP baru berpandangan bahwa tujuan pemidanaan adalah memperbaiki/membina alias restorative.
Meskipun begitu sampai saat ini, hukuman mati masih menimbulkan pro dan kontra, coy. Coba deh, sekarang kita lihat pov dari tim yang kontra dengan hukuman mati.
Biasanya mereka mendasarkan pada Pasal 28A UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Tim kontra berpandangan bahwa ya, orang berhak hidup dan itu adalah hak dasar bagi manusia yang nggak bisa dibatasi, dikurangi, diambil, dibagi oleh siapapun dan kapanpun bahkan bagi negara.
Terus mereka berpendapat bahwa orang juga bisa berubah. Siapa tahu nasib orang ke depan bakal lebih baik. Tujuan pemidanaan adalah mencegah orang dari perbuatan kejahatan, bukan pada balas dendam.
Kemudian, kalau pov dari tim pro terhadap hukuman mati. Ehm, bisa dibilang pemikiran yang pro hukuman mati ini cukup kritis, coy. Mereka menggunakan Pasal 28J UUD 1945 yang berbunyi:
- “Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
- “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
BACA JUGA: CURKUM #99 PERBEDAAN HUKUMAN MATI DAN PENJARA SEUMUR HIDUP
Tim pro berpendapat bahwa agar hak lo diakui dan dilindungi, maka harus mengakui dan menghormati hak yang dimiliki orang lain. Memang benar bahwa tujuan pemidanaan adalah pembinaan, namun jangan lupakan bahwa pidana juga berfungsi sebagai ultimum remidium alias senjata pamungkas (upaya akhir).
Upaya akhir dapat ditegakkan apabila upaya ringan berupa peringatan, teguran dan sanksi lain sudah tidak bisa membuat pelaku jera atas perbuatannya. Terlalu klise untuk menunggu dan yakin bahwa mereka berubah. Makin dibiarkan makin ngelunjak membuat kerusakan.
Mereka juga menggunakan sudut pandang filsafat bahwa pada hakikatnya ‘pembatasan’ bukan bermakna pengekangan. Justru adanya pembatasan itulah yang menyebabkan orang menghormati hak orang lain sehingga akan tercipta kebebasan. Namun nggak bebas sebebasnya, ya!
Paradox, kan? Hahaha, itulah asiknya filsafat.
Nah, itulah geng, gambaran pov Pro – Kontra terhadap hukuman mati. Kalau kamu, pro atau kontra nih?
Well, that’s all from me. See you in the next article!