Riuh gaung pemilu sudah mulai berpendar. Isu capres dan cawapres semakin kencang terdengar. Partai-partai mulai mengotak-atik pion untuk maju menjadi caleg di berbagai daerah pemilihan. Berbagai upaya dilakukan untuk menarik simpati, berharap saat pemilu rakyat memberikan empatinya untuk mencoblos caleg yang mereka usung.
Yups, rakyat menjadi faktor penentu keberhasilan partai dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Sudah jelas dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dijelaskan, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Bentuk kedaulatan rakyat dalam pemilu adalah bebas memilih wakilnya untuk mengurus negara dan mengurus hajat hidupnya.
Partisipasi politik menjadi hal penting dalam perkembangan bangsa dan negara Indonesia, karena partisipasi politik membawa berbagai kepentingan dan tuntutan perubahan pada kehidupan rakyat Indonesia.
Kemudian kepentingan siapakah yang disuarakan? Apakah mewakili kepentingan rakyat atau hanya kelompok tertentu?
Salah satu kelompok yang selalu menjadi komoditas politik saat pemilu adalah rakyat kecil. Sampai-sampai salah satu partai menggunakan branding sebagai partai wong cilik (orang kecil) dan cara itu jitu untuk memenangkan mayoritas suara rakyat pada pemilu tahun 2019.
BACA JUGA: ADA WACANA PEMILU ONLINE, EMANGNYA KITA UDAH SIAP YA?
Hal tersebut menunjukkan kalau rakyat kecil masih menjadi kelompok yang kepentingannya banyak dijual dalam kampanye dan its works.
Siapa sih, yang dimaksud rakyat kecil?
KBBI mendefinisikan rakyat kecil sebagai orang yang memiliki tingkat sosial ekonomi sangat rendah atau dapat diartikan sebagai orang kebanyakan yang bukan penguasa pemerintahan (orang biasa).
Sebenarnya tidak ada diskriminasi hukum terhadap rakyat kecil, setiap rakyat memiliki hak untuk menyalurkan suaranya. Hal ini termuat dalam Pasal 43 UU HAM, yang menjelaskan setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga setiap warga negara bebas untuk menitipkan kepentingan mereka kepada wakil yang mereka pilih, selama hal tersebut sesuai dengan undang-undang.
Rakyat kecil saat ini tidak dapat dikatakan sebagai kelompok yang apatis dalam pemilu, buktinya caleg dari berbagai partai selalu menargetkan kelompok ini dalam kampanyenya untuk mendulang suara.
Namun kalau diamati, rakyat kecil cenderung tidak sepenuhnya memiliki kesadaran terhadap pilihan atau suara yang mereka berikan saat pemilu. Hal ini terjadi karena rekayasa politik yang diciptakan hanya untuk mendapat dukungan atau suara dari rakyat kecil bukan berfokus pada kepentingan rakyat kecil yaitu kesejahteraan.
Misalnya saja praktek money politic ditargetkan pada rakyat yang berorientasi pada manfaat instan. Kata-kata pamungkasnya “Tidak ada uang, tidak mau berangkat nyoblos.”
Dengan memilih caleg yang menggunakan money politik rakyat kecil tidak menyadari konsekuensi dari pilihan politiknya dapat menyengsarakan kehidupannya, karena caleg yang mereka pilih akan mencari ganti dari modal money politik yang sudah mereka keluarkan.
Contoh lainnya rakyat kecil yang fanatik terhadap SARA, akan digunakan para politikus untuk menjatuhkan lawan politiknya dan menciptakan perpecahan di tengah rakyat, hanya untuk meraih simpati dan suara. Hal tersebut menunjukkan kepedulian rakyat kecil terhadap politik, khususnya pada hal-hal terdekat dan kepentingan di lingkungannya.
Sehingga harus ada solusi untuk melindungi hak suara dan kepentingan yang diperjuangkan oleh rakyat kecil, supaya tidak dimanfaatkan oleh segelintir orang yang haus akan kekuasaan. Jika dibiarkan sistem politik seperti itu, rakyat kecil akan selalu dibodohi dan sampai kapanpun tujuan mensejahterakan rakyat tidak akan tercapai.
Melihat contoh di atas, IMO, pendidikan politik menjadi salah satu solusi untuk melindungi hak suara rakyat kecil. Karena melalui pendidikan politik masyarakat dapat mengkonstruksikan pilihan politik melalui pemikiran rasional bukan dari rekayasa sosial politik.
Melalui pendidikan politik, rakyat dapat memahami sistem politik yang sesuai dengan Pancasila, memahami pengolahan aspirasi menjadi kebijakan, mengetahui aturan main dalam pemilu dan masih banyak lagi.
Ketika pengetahuan dan wawasan politik rakyat berkembang, maka rakyat memiliki kesadaran dalam menentukan sikap politiknya dan akan berdampak baik pada perkembangan demokrasi Indonesia.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang bertanggung jawab atas pendidikan politik terhadap rakyat?
Saat ini pendidikan politik seolah tak jelas menjadi tanggung jawab siapa. Dalam berbagai kesempatan lembaga seperti Bawaslu dan KPU mengatakan pendidikan politik sebagai tanggung jawab bersama termasuk juga partai politik.
Seharusnya negara mengambil perannya dalam masalah ini, saya kira pemerintah tidak kekurangan lembaga apabila alasannya tidak ada lembaga yang berfokus untuk melakukan pendidikan politik. Sebut saja ada BPIP, Kesbangpol, Bawaslu dan KPU. Walaupun lembaga tersebut tidak secara eksplisit memiliki tugas untuk melakukan pendidikan politik, namun masih memiliki hubungan terhadap politik dan pengembangan bangsa.
Bukan tanpa alasan saya mengatakan negara harus mengambil peran. Apabila pendidikan politik diserahkan atau bergantung pada partai politik, yang akan terjadi adalah pengkotak-kotakan pada rakyat.
Ini karena yang akan diajarkan oleh partai politik adalah politik sesuai dengan ideologi dan haluan partai politik itu sendiri. Dimana kita ketahui bahwa pandangan partai satu dengan yang lainnya pasti berbeda.