Hantaman keras dan bertubi-tubi memukul wajah dunia pajak negeri kita. Pasalnya dampak dari satu orang yang notabene pegawai pajak kesandung masalah dugaan penyembunyian harta kekayaan. Akibatnya mulai muncul gerakan menolak pajak.
Berbicara mengenai gerakan menolak pajak sejatinya sudah lama ada bahkan sebelum negara ini lahir dan masih berkonsep kerajaan.
Mereka muncul dengan alasan utama tentang kekecewaannya terhadap para penyelenggara pemerintahan yang dianggap tidak memihak kepada kepentingan rakyat dan cenderung korup serta memperkaya diri sendiri.
Atas prinsip utama soal kecewa inilah lantas gerakan boikot pajak terus muncul dan jika dibiarkan, akan membesar. Dan tentunya akan berdampak negatif untuk keberlangsungan pembangunan suatu negara itu sendiri.
Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Perpajakan, Pengertian Pajak yaitu kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menelaah dari definisi di atas, untuk memaknai pajak ada dua unsur yang harus dipahami. Yaitu, pajak bersifat memaksa dan pajak digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
BACA JUGA: IKN NUSANTARA DAN ATURAN PAJAKNYA YANG BARU
Sebagai warga negara yang baik, saya rela dipaksa untuk membayar pajak sesuai perintah undang-undang. Dengan catatan pajak itu digunakan untuk keperluan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Jika secara fakta pemanfaat pajak digunakan sebagaimana perintah konstitusi, saya yakin tidak akan muncul gerakan memboikot pajak.
Fakta sebaliknya jika pajak tidak digunakan sebagaimana definisinya, apalagi para pejabat pajaknya masih bermain curang. Saya yakin kekecewaan masyarakat tentang pajak akan terus tumbuh bak jamur di musim hujan.
Apalagi bangsa kita sudah ada bibit-bibit gerakan penolakan pajak, jauh sebelum menjadi negara Indonesia. Jika kita menelisik lebih jauh, gerakan mana saja yang notabene pernah bersinggungan dengan pemegang kekuasaan saat itu. Sekira kita perlu mengenalnya.
Pertama, Perang Wasyid Geger Cilegon.
Sejarah mencatat era 1888 terdapat peristiwa gerakan fundamental yang hebat di tanah Cilegon dipimpin oleh Kiai Haji Wasyid. Secara nama pasti kalian bisa menebak beliau adalah tokoh ulama yang dipastikan memiliki barisan massa kuat di belakangnya.
Haji Wasyid pada era itu pernah memimpin perang yang dinamakan Geger Cilegon. Penyebab perang itu terjadi karena melawan pemerintah Kolonial Belanda. Yaitu pertama, patih dan jaksa telah melarang umat Islam melakukan ibadah di Masjid. Kedua, dinaikkannya pajak perahu dan pajak-pajak usaha yang lain. Ketiga, para pejabat sama sekali tidak menghiraukan para kiai, bahkan memusuhi Islam.
Satu di antara tiga konflik penyebab perang Geger Cilegon yaitu, soal kenaikan pajak perahu dan pajak-pajak usaha lainnya oleh pemerintah Kolonial Belanda saat itu. Tentunya efek kenaikan pajak sangat berdampak pada masyarakat sehingga memunculkan konflik.
Apalagi pemerintahan Kolonial Belanda saat itu tergolong menjadi lawan rakyat dengan kebijakannya yang tidak sesuai kehendak rakyat. Ya, namanya juga penjajah. Masa iya, memperhatikan rakyat.
Atas dasar konflik pajak sebagai salah satu penyebab inilah muncul perang besar di tanah Cilegon. Dan sejarah ini ada di negara kita dengan unsur konflik, salah satunya tentang pajak.
Kedua, Samin Surosentiko dengan Gerakan Menolak Pajak dari Blora
Hikayah penolakan pajak selanjutnya, kita perlu mengenal tentang gerakan yang dipunggawai oleh Samin Surosentiko dari Blora, Jawa Tengah, yang melahirkan ajaran Saminisme sampai sekarang.
BACA JUGA: JENIS JENIS PAJAK NEGARA
Gejolak konfliknya pun sama, Samin Surosentiko menolak emoh bayar pajak kepada penguasa saat itu. Karena penguasa saat itu malah menyengsarakan rakyat dengan segala bentuk kebijakannya.
Barisan massa dari Samin Surosentiko umumnya para petani. Walaupun mereka membangkang kepada penguasa, namun jangan salah loh, pren. Mereka sangat rajin, jujur, serta menghargai sesama, termasuk kaum perempuan.
Artinya, Samin Surosentiko memiliki niat jelas dalam perlawanannya emoh membayar pajak. Yaitu, dengan penyebab utama soal kekecewaan kepada penguasa kala itu.
Oke pren, hikmah yang dapat dipetik dari dua penggalan hikayat di atas. Pada prinsipnya rakyat mau-mau saja membayar pajak, apalagi konteknya dipaksa sebagaimana bunyi aturan hukumnya.
Asalkan pajak itu benar dan senyatanya digunakan untuk kepentingan pembangunan rakyat itu sendiri, dengan transparansi dan akuntabel. Bukan malah dimainin apalagi sama oknum pegawai pajak itu sendiri. Toh, kita semua nggak ada yang mau kan, muncul kembali gerakan penolak pajak. Bisa bangkrut noh, negara kita.