Merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama yang kerap disingkat NU merupakan gerakan kaum santri yang eksistensinya tak perlu diragukan lagi membela bangsa dan negara. Oleh karenanya NU dan Nasionalisme ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Secara kultural saya termasuk umat muslim yang amalan ibadahnya bersanad dari Kyai-Kyai NU. Masa kecil saya, pernah mengenyam madrasah ala pesantren NU di kampung pinggiran pantai utara Jawa.
Melalui tulisan ini saya akan menyampaikan sedikit cerita tentang NU. Karena rasanya menjadi suatu kewajiban untuk nderek mangayubagyo atau merasakan euforia dalam Harlah ke-100 tahun Nahdlatul Ulama yang jatuh pada Hari Selasa, 31 Januari 2023.
Setelah kembali merenungi ajaran kyai-kyai saya sewaktu di madrasah, rupanya berbicara soal NU dan nasionalisme memang tidak bisa dipisahkan. Dua diksi itu bagai satu kesatuan.
Apalagi terdapat slogan khas dari Kaum Nahdiyin yaitu Hubbul Wathon Minal Iman maknanya adalah cinta tanah air (nasionalisme) bagian dari iman. Hal tersebut menandakan bahwa sejatinya mereka kaum santri sudah lama memegang prinsip mencintai negara ini adalah kewajiban, seperti halnya iman.
Slogan Hubbul Wathon Minal Iman sendiri merupakan hasil karya Mbah Yai Abdul Wahab Hasbullah. Yang ketika kita melihat sejarah, slogan itu muncul untuk membakar semangat para perjuangan bangsa Indonesia dalam menumpas Belanda.
BACA JUGA: NU DAN MUHAMMADIYAH, MENOLAK RUU PERLINDUNGAN TOKOH AGAMA, KENAPA?
Dari penggalan kisah di atas, sudah tidak bisa diragukan lagi kalau sejarah membuktikan warga nahdliyin sedari dulu kala juga sudah ikut berperang melalui caranya untuk kemerdekaan bangsa dan negara.
Semangat NU Dalam Harlah Ke-100 Tahun
Pada momentum hari jadi Nahdlatul Ulama yang ke-100 tahun ini, terdapat tema yang cukup nyentrik dan tegas, pren. Yaitu “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru.”
Sebagaimana rujukan yang saya kutip pada NU Online, menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yaitu KH. Yahya Cholil Staquf, tema tersebut dipilih berdasarkan Hadits Nabiyuna Muhammad SAW, tentang momentum lahirnya pembaharu di setiap 100 tahun atau 1 abad peradaban manusia.
Imam Ibnu Dawud meriwayatkan satu hadits Nabiyuna Muhammad SAW, bersabda “Allah SWT setiap 100 tahun membangkitkan di kalangan umat ini pembaharu.” Sehingga melalui momentum 100 tahun inilah besar harapan yang menjadi doa, dimana Nahdlatul Ulama diharapkan mampu menjadi kebangkitan baru yang digdaya untuk menjemput tantangan abad ini.
Tentu saja, harapan besar saya sebagai warga nahdliyin, terkhusus PBNU dan warga NU pada umumnya untuk tetap setia menyebarkan Islam sebagai agama yang adem, memberikan kesejukan serta keselarasan untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Apalagi fakta sejarah sudah membuktikan, bahwa NU sudah teruji sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang selalu membawa pesan-pesan kebangsaan dalam mensyiarkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat.
BACA JUGA: APA SIH PENTINGNYA RUU PERLINDUNGAN TOKOH AGAMA DAN SIMBOL KEAGAMAAN?
Di tengah gempuran stigma negatif mengenai umat Muslim yang seringkali dianggap intoleran, radikal dan dekat dengan kalangan teroris, harapan besar saya adalah semoga Nahdlatul Ulama mampu menepis stigma-stigma negatif itu semua.
Sebagaimana cara-cara yang sudah dilakukan para Kyai-Kyai NU khususnya beliau yang istiqomah mengajar agama Islam di kampung. Yaitu, dengan mensyiarkan agama Islam yang humanis dan selalu menunjukkan sikap patriot kebangsaan terhadap negara.
Dalam aspek hukum ketatanegaraan, para warga nahdliyin sejatinya sudah menerapkan nilai Pancasila yaitu persatuan dan kesatuan bangsa dalam kehidupannya, tanpa mereka harus menjadi politisi atau para pandai hukum.
Lah, wong slogannya saja Cinta Tanah Air (nasionalisme) sebagian dari Iman. Kurang berkebangsaan dan patriotisme apalagi coba, warga NU ini untuk bangsa dan negara Indonesia.
Ya, pada intinya, saya haturkan ribuan rasa terima kasih bagi guru bangsa pendiri Nahdlatul Ulama, seperti Mbah Yai Hasyim Asy’ari, Mbah Yai Abdul Wahab Hasbullah, Mbah Yai Bisri Syansuri dan para kyai-kyai lainnya yang saya pribadi tidak mengurangi sembah takdimnya.
Karena melalui pemikiran Islam yang humanis dan nasionalis mereka lah, Indonesia sampai saat ini masih bersatu diantara banyaknya gempuran yang ingin memecah belah masyarakatnya.
Matur sembah nuwun, pokoknya “Mati Urip Kulo Nderek Mbah Yai ….”
Selamat Harlah ke-100 Tahun untuk NU-ku.