Sudah jatuh, tertimpa tangga, masih dikubur pula. Mungkin kalimat itu cocok untuk menggambarkan keadaan Mas Johnny Depp sekarang. Ya gimana? Semenjak Mas Johnny Depp berhadapan dengan Mbak Amber Heard atas tuduhan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), karier Mas Johnny Depp benar-benar berada di titik nadir.
Sebelum ribut dengan Mbak Amber Heard, Mas Johnny Depp merupakan artis yang dipuja dan dipuji seluruh dunia, salah satunya berkat kepiawaian akting Mas Johnny Depp dalam sekuel film Pirates of The Caribbean. Cuma yang namanya kehidupan itu kayak roda, kadang di atas, kadang di bawah. Untuk kasus Mas Johnny Depp ini kayaknya sih, rodanya udah posisi di bawah, itu pun bannya bocor.
Gara-gara ribut sama Mbak Amber Heard, netizen di seluruh dunia lalu ramai-ramai menghujat Mas Johnny Depp, dan akhirnya banyak sekali dampak yang diterima Mas Johnny Depp di dunia nyata, meski hujatannya di dunia maya. Contohnya, Disney memecat Mas Johnny Depp sebagai pemeran Kapten Jack Sparrow, bajak laut kocak nan banyak akal dalam film Pirates of The Caribbean.
Udah? Ya jelas belum, film Fantastic Beasts pun dianggap jelek gara-gara keterlibatan Mas Johnny Depp dalam film tersebut. Bahkan kabarnya Mas Johnny Depp kehilangan kekayaan sebesar US$650 juta gara-gara kasus yang dihadapinya tersebut. Di lain sisi, Mbak Amber Heard kariernya justru naik dan mulai bergelimang harta. Selain itu, Mbak Amber Heard dianggap sebagai ikon gerakan #MeToo, sebuah kampanye anti pelecehan dan kekerasan seksual.
Nah, apa yang dialami oleh Mas Johnny Depp ini disebut sebagai cancel culture. Sebenarnya belum ada pengertian yang resmi mengenai cancel culture, cuma kalau mengutip artikel di Remotivi, cancel culture pada hakikatnya adalah usaha kolektif masyarakat untuk ‘memboikot’ seseorang atas perbuatan atau perkataannya.
Masih menurut artikel di Remotivi tersebut, biasanya tokoh yang di-cancel telah melakukan suatu hal yang buruk, seperti kekerasan seksual hingga komentar rasial. Dampaknya, tokoh tersebut dapat kehilangan kepercayaan masyarakat, dianggap rendah, hingga dipecat dari pekerjaannya.
BACA JUGA: KENYALNYA PASAL KARET UU ITE
Dalam kasus Mas Johnny Depp tadi, belum lama ini beredar sebuah rekaman yang menyiratkan bahwa pelaku KDRT bukanlah Mas Johnny Depp, tapi justru Mbak Amber Heard. Tapi apa mau dikata? Mas Johnny Depp udah terlanjur kehilangan pekerjaan, karyanya tidak dihargai, dan kehilangan uang. Netizen seluruh dunia jelas gak akan dan gak mau kalau disuruh ganti rugi.
Kasus Cancel Culture di Indonesia
Sampai hari ini, universitas yang menjadi almamater saya masih dihujat oleh netizen akibat kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi pada saat pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Maluku sana, yang diungkap oleh sebuah pers mahasiswa. Udah gak usah disebut, pasti kalian sudah tahu dulunya saya kuliah di mana.
Oke, lanjut. Pada saat kasus tersebut sedang viral di dunia maya, banyak netizen yang marah-marah di dunia maya dan menyebar data pribadi terduga pelaku pelecehan seksual. Data pribadi yang disebar pun cukup lengkap. Seingat saya, data yang tersebar itu mulai dari nama, penampakan wajah si terduga pelaku, bahkan sampai nama dan nomor hape orang tua si terduga pelaku juga ada. Bahkan akibat kasus tersebut, si terduga pelaku menjadi tertunda kelulusannya yang seharusnya lulus bulan November 2018. Sekarang saya tidak tahu apakah dia sudah lulus atau belum. Yang jelas ketika saya wisuda pada Februari 2019, terduga pelaku belum lulus.
Selain kasus di almamater saya, ada juga kasus bullying Audrey, di mana korban mengaku bahwa dirinya dikeroyok oleh 12 orang dan alat kelaminnya dilukai oleh pelaku pengeroyokan. Jangan ditanya respon netizen saat itu. Mulai dari menggaungkan tagar #justiceforaudrey yang akhirnya viral, hingga (seperti biasa) menghujat terduga pelaku pengeroyokan dan menyebar foto mereka di media sosial.
Hingga akhirnya ada netizen yang cukup selo dan mengunggah isi media sosial si Audrey yang ternyata dia cukup kasar dalam bertutur di media sosial, lalu puncaknya adalah ketika hasil visum menyatakan bahwa tidak ditemukan luka atau memar di area sensitif Audrey. Pada akhirnya, sebagian netizen (lagi-lagi) bersikap sok bijak dengan menggaungkan tagar #audreyjugabersalah.
Saya juga tidak mengikuti lebih lanjut kasus Audrey dan teman-temannya tersebut. Toh, menurut saya Audrey sudah cukup beruntung karena mendapat kesempatan untuk diundang ke Hotman Paris Show.
Cancel Culture dan Hukum di Indonesia
Berbicara mengenai peraturan perundang-undangan di Indonesia, para pelaku cancel culture sesungguhnya dapat dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Hanya saja, pasal tersebut termasuk dalam kategori delik aduan. Itu artinya hanya korban saja yang dapat melapor.
BACA JUGA: GILIRAN FERDIAN PALEKA KENA PRANK UU ITE
Sialnya, sering kali korban cancel culture enggan melawan balik para pelaku cancel culture karena persepsi publik kadung memosisikan dirinya sebagai pendosa yang layak dihukum. Dalam kasus yang terjadi di almamater saya dan kasus yang menimpa Audrey, tidak ada satupun terduga pelaku yang melaporkan para pelaku cancel culture.
Oh ya, memang benar, dalam hukum terdapat asas praduga tidak bersalah alias presumption of innocence. Asas tersebut diatur dalam Penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana angka 3 huruf c dan Pasal 8 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Hanya saja, banyak orang yang berpendapat, bahwa asas presumption of innocence hanya harus ditaati oleh hakim semata.
Itu artinya, dari proses penyelidikan sampai sebelum proses persidangan, para penegak hukum tidak dibebani dengan asas tersebut, karena jika asas presumption of innocence diartikan secara tertulis saja, maka tugas polisi dan jaksa tidak akan berjalan. Kan harus ada orang yang diduga dulu sebagai pelakunya, baru bisa diproses hukumnya.
Selama proses hukum tersebut berjalan, terduga pelaku berpotensi mengalami cancel culture, setidaknya di dunia maya. Untuk menghukum si terduga pelaku, terlepas bukti-bukti yang ada untuk menjerat terduga pelaku tersebut kuat atau tidak, pokoknya masyarakat duluan ambil peran untuk ngasih sanksi sosial kepada terduga pelaku.
Yah, pada akhirnya, memang cancel culture terasa seperti sebuah ‘budaya’ yang dianggap wajar oleh netizen. Tinggal tanyakan pada diri kita sendiri, mau ikut arus menjadi salah satu pelaku cancel culture atau berusaha tidak bersuara sampai kasus tersebut cukup jelas kebenarannya. Eh, tapi kalau ada alternatif lain selain pilihan yang saya tawarkan, kasih tau dong.