Nullum delictum, nulla poena, sine praevia legi poenale.
Kalimat berbahasa Latin tersebut merupakan salah satu adagium paling terkenal bagi orang-orang yang bergelut di bidang hukum. Arti dari kalimat tersebut adalah “Tidak ada perbuatan yang dapat dipidana, kecuali sudah diatur oleh ketentuan pidana yang mengatur sebelumnya.” Yap, adagium tersebut menjelaskan mengenai asas legalitas dalam hukum pidana.
Kamu belum tahu apa itu asas legalitas? Gampangnya asas legalitas itu merupakan asas dalam hukum yang mengharuskan suatu perbuatan diatur terlebih dahulu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dengan diaturnya suatu hal/perbuatan dalam peraturan perundang-undangan, maka orang yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenai sanksi sebagaimana aturan yang mengaturnya.
Ketentuan asas legalitas diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945. Pasal 1 Ayat (1) KUHP mengatur mengenai asas legalitas, sedangkan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 mengatur tujuh hak dasar yang (katanya) tidak dapat dibatasi (non-derogable rights), dimana salah satunya mengatur hak seseorang untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut alias asas non retroaktif.
BACA JUGA: 5 ASAS HUKUM YANG WAJIB KAMU TAU
Kalo kita perhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, maka jelas asas legalitas itu harus memenuhi beberapa kriteria. Pertama, hukum pidana bentuknya harus tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, tidak boleh berlaku surut. Ketiga, tidak boleh pakai analogi dalam menentukan adanya perbuatan pidana. Keempat, aturan pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undang harus jelas, jadi ada kepastian hukumnya.
PENYIMPANGAN ASAS LEGALITAS DI INDONESIA
Meskipun begitu, selalu terdapat pengecualian terhadap suatu asas, tidak terkecuali asas legalitas. Pasal 1 Ayat (2) KUHP membuka kemungkinan untuk berlaku surutnya suatu ketentuan pidana sepanjang hal tersebut menguntungkan terdakwa. Begitu ketentuannya mengatur.
Di Indonesia sendiri, setidaknya terdapat 2 (dua) kali penyimpangan asas legalitas tersebut dan keduanya terjadi di Era Reformasi. Penyimpangan pertama adalah dengan disahkannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 43 Ayat (1) UU Pengadilan HAMmenyatakan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.
Lebih lanjut, Pasal 44 UU tersebut menjelaskan bahwa pemeriksaan dan upaya hukum di Pengadilan HAM Ad Hoc menggunakan ketentuan UU Pengadilan HAM. Makanya, jangan heran kalau sampai sekarang masih ada desakan untuk menuntaskan peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu macam Peristiwa 1965, Peristiwa Tanjung Priok dan lain-lain, karena UU Pengadilan HAM memungkinkan hal tersebut.
Penyimpangan kedua adalah dengan dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Penerapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 terhadap Peristiwa Bom Bali I yang terjadi pada 12 Oktober 2002. Kedua Perppu tersebut diterbitkan pada 18 Oktober 2002.
Kedua Perppu tersebut memang diterbitkan untuk merespon Peristiwa Bom Bali I yang menjadi perhatian internasional, terlebih saat itu banyak korban yang merupakan warga negara asing, sehingga menyebabkan beberapa negara mengeluarkan travel warning ke warganya agar tidak mengunjungi Indonesia sebagai destinasi wisata.
BACA JUGA: PENGANUGERAHAN PAHLAWAN NASIONAL
BIJAKKAH ASAS LEGALITAS DISIMPANGI?
Het recht hink achter de feiten aan. Hukum selalu tertinggal di belakang peristiwa. Adagium tersebut mengingatkan kepada kita bahwa meskipun hukum sudah dirancang sedemikian rupa, tetapi hukum tersebut akan selalu ketinggalan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dalam sejarah, asas legalitas pernah disimpangi beberapa kali, salah satunya ketika Persidangan Nuremberg digelar untuk mengadili para petinggi Nazi atas kekejaman yang mereka lakukan selama Perang Dunia II.
Ketika para terdakwa berargumen bahwa mereka diadili dengan mengesampingkan asas legalitas, salah satu hakim kemudian mengeluarkan pernyataan yang sangat terkenal sampai hari ini. Hakim tersebut menyatakan bahwa, “Memidana seseorang dengan melanggar asas legalitas memang tidak adil, tetapi tidak menghukum orang yang bersalah karena kejahatannya jauh lebih tidak adil.”
Selain itu, Gustav Radbruch, filsuf hukum asal Jerman itu juga pernah menyatakan bahwa apabila hukum yang berlaku bertentangan dengan keadilan, maka hukum yang berlaku tersebut dapat dikesampingkan untuk mendahulukan keadilan.
Demikianlah. Jadi, bijakkah mengesampingkan asas legalitas? Tergantung argumen masing-masing, hahahaha.