Public enemy kategori hukum untuk minggu ini saya pastikan jatuh ke tangan Pak Fredrik Adhar. Lho, kok bisa? Idih, pake nanya. Emangnya kamu nggak tahu kalo beliau itu yang buat dan bacain tuntutan buat para terdakwa yang udah nyiram air keras ke mukanya Bang Novel Baswedan? Makanya sekali-kali baca berita dong.
Bagi saya pribadi, yang menarik dari tuntutan itu bukanlah soal tuntutannya yang cuman 1 (satu) tahun penjara dipotong masa penahanan. Tapi yang menarik itu adalah kalimat “Nggak Sengaja” yang beliau tuliskan.
Entah di bagian mana kalimat itu dituliskan, yang jelas media kita udah kadung rame ngeberitain. Web detik.com misalnya, memberitakan “Bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke badan Novel Baswedan. Namun mengenai kepala korban.”
Bisa jadi, viralnya kalimat “Eh, nggak sengaja” muncul dari kalimat di atas, yang saya yakin tata letak kalimat itu berada di bagian analisa fakta. Sok tau kamu? Hey, inget saya itu pengacara. Meskipun saya nggak baca berkasnya karena informasi perkara yang bernomor 371/Pid.B/2020/PN Jkt.Utr itu ga muncul di SIPP, tapi saya sangat yakin kalimat itu ada di analisa fakta, yang keberadaannya punya maksud dan tujuan tertentu.
Secara, dalam surat dakwaannya, Pak Fredrik Adhar merumuskan Pasal 355 Ayat (1) KUHP yang ancamannya 12 tahun penjara sebagai dakwaan primer dan Pasal 353 Ayat (2) yang ancamannya 7 tahun penjara sebagai dakwaan subsider.
Dalam ilmu hukum, jika surat dakwaan itu disusun secara berlapis, maka dalam pembuktiannya Penuntut Umum harus membuktikan dakwaannya satu persatu. Tentunya pembuktian itu dimulai dari pembuktian pada pasal yang mempunyai ancaman pidana paling tinggi. Bilamana dakwaan pertama itu tidak terbukti, maka harus disampaikan secara tegas.
BACA JUGA: DEMOKRASI OLIGARKIS
Menurut hemat saya, sangat mungkin Pak Fredrik Adhar kesulitan untuk membuktikan bahwa tindak pidana penganiayaan berat yang dilakukan secara terencana oleh terdakwa sulit dibuktikan. Karena, pembuktian dalam unsur perencanaan itu sangat mungkin melibatkan banyak pihak.
Namun sayangnya, waktu menyampaikan pledoi ups maksud saya penuntutan, giginya Pak Fredrik Adhar kegigit lidah. Saking sakitnya, beliau lupa kalo kalimat ‘nggak sengaja’ itu punya akibat hukum. Mau dikemas pake bungkusnya roti bakar palagan sekalipun, tetap saja ‘nggak sengaja’ itu memiliki muatan ketidaksengajaan atau kelalaian.
Biar nggak gagal faham, saya ingetin kembali apa itu kesengajaan dan ke‘nggak sengaja’an alias kelalaian. Dalam bukunya, Die Grenze Vorsatz und Fahrlassigkeit tahun 1903, menyatakan kalo kesengajaan itu adalah kehendak untuk membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Sedangkan dalam KUHP, kesengajaan adalah dengan sadar berkehendak yang ditujukan untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.
Beda hal kalo kita ngobrolin tentang ke’enggak sengaja’an atau kelalaian atau kesalahan atau kurang hati-hati atau kealpaan yang kesemuanya dalam bahasa hukum disebut dengan culpa.
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia mengatakan bahwa arti culpa adalah “kesalahan pada umumnya.” Dapat diartikan, bahwa ketidaksengajaan merupakan suatu kealpaan yang dalam tindakannya tanpa dilandasi oleh niat dari pelakunya.
Pertanyaan sederhananya, apakah tindakan terdakwa itu dilakukan tanpa ada niat? Saya rasa, sangat keliru kalo dibilang tindakan terdakwa ini dilakukan secara spontanitas. ‘Wong’ pas saya baca dakwaannya, hal itu jelas banget kalo tindakan terdakwa itu sudah direncanakan sebelum perbuatan itu dilakukan kok. Artinya, kalo sudah direncanakan sudah pasti ada niat di dalamnya. Iya nggak!
BACA JUGA: PERGULATAN POLITIK ALA OLIGARKI
Seandainya benar yang dikatakan sama Pak Fredrik Adhar bahwa kedua pelaku ini ‘nggak sengaja’ menyiramkan air keras, kenapa juga air keras itu sudah dipersiapkan dari suatu tempat kemudian disiramkan ke korban. Ntah kena badan atau kena muka, artinya sedari awal memang sudah ada niatan dari para pelaku untuk melakukan tindak pidana. Tentunya hal tersebut besar kemungkinan sudah direncanakan sebelumnya.
Jika memang perbuatan para pelaku itu mau diarahkan pada ketidaksengajaan, semestinya tidak perlu bersusah payah menggunakan air keras. Tabrak saja sampai mati, kemudian bikin opera sabun dengan cara pura-pura dianiaya oleh massa. Begitu dilakukan gelar perkara, masuklah dia ke Pasal 310 Ayat (4) atau Pasal 311 Ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Aturan ini kan sifatnya, kelalaian.
Karena itu, sangat aneh kalo atas dasar tidak sengaja kemudian unsur-unsur dalam Pasal 355 Ayat (1) KUHP jadi nggak kebukti. Lebih anehnya lagi, kalimat tidak sengaja itu kan dilontarkan oleh terdakwanya. Harap diingat, bahwa ada sebuah asas hukum yang berbunyi “Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.”
Asas ini menerangkan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan asas ini, semestinya ‘nggak sengaja’ itu menjadi domainnya Penasehat Hukum dalam membela hak hukum terdakwa. Terus lagi, sejak kapan, hukum pidana kita mengatur ‘nggak sengaja’ itu jadi alasan pemaaf.
Secupu-cupunya saya jadi Advokat, saya nggak pernah memasukkan ‘nggak sengaja’ sebagai alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk terdakwa.
BACA JUGA: TAHAPAN SIDANG PERKARA PIDANA
Asal tahu aja nih ya, sebelum Pak Fredrik Adhar ini viral, saya sudah terlebih dahulu jadi public enemynya jaksa. Mau tau gara-garanya? Sepele! Pas saya mengajukan pembelaan buat klien saya yang melakukan tindak pidana pencurian senilai Rp150.000,00, saya memasukkan kalimat, “Bahwa nilai barang yang dicuri oleh terdakwa tidak sebanding dengan beban negara untuk menanggung biaya makan terdakwa selama dalam tahanan yang jika ditotal berjumlah Rp9.000.000,00.”
Gara-gara babakan tersebut, bapak dan ibu jaksa itu selalu mengingat saya sebagai Penasehat Hukum yang suka itung-itungan. Kayak selasa kemarin aja, saya ditanya “Mas, pledoi pencabulanmu masukin duit makan nggak.” Dengan riang gembira, saya jawab, “Nggak bu, saya cuma bilang kalo terdakwa nggak sengaja mencuri hati korbanya.”
Harap dicatat, dalam hal ini saya tidak menyalahkan Penuntut Umum. justru saya prihatin dengan kekuatan-kekuatan yang tak kasat mata. Kekuatan yang menyebabkan kealpaan pada pertimbangan huruf ‘c’ manapun UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang mengamanatkan, “Bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.”