Kereta Rel Listrik atau yang kerap disebut KRL merupakan solusi mode transportasi yang sederhana, cepat dan biaya ringan untuk mendukung sikap satsetnya para pekerja Ibu Kota.
Tepatnya hampir sebulan ini saya kembali menjadi lawyer di Jakarta, banyak peristiwa kehidupan yang saya serap. Untuk dituangkan menjadi suatu tulisan yang harapannya dapat memberi kesan kepada para pembaca tentang kehidupan pekerja di Jakarta.
Awalnya saya sempat mengalami shock culture, karena bagaimanapun juga saya merupakan pribadi yang tumbuh di Tegal serta berkembang di Yogyakarta. Jadi cukup terheran-heran ketika melihat kaum pekerja di kota ini yang ketika pagi dan sore hari banyak berlarian mengejar KRL di stasiun.
Sebenarnya banyak mode transportasi umum di sini, mulai dari busway, metromini, bajaj, taksi online maupun konvensional, ojek online dan ojek konvensional serta transportasi lainnya.
Cuma nggak tahu kenapa, saya lebih tertarik dan melirik untuk mengkaji serta menafsirkan tentang eksistensi KRL yang cukup banyak digemari kaum pekerja yang ada di Ibu Kota ini.
Prinsip KRL yang Sederhana, Cepat Biaya Ringan
Pertanyaan tentang kenapa KRL cukup digemari pekerja di Jakarta, akhirnya terjawab langsung setelah saya coba menaikinya dan mengambil rute dari Stasiun Manggarai menuju Stasiun Tambun, sehingga jawaban pertanyaan itu sontak saya dapatkan.
Dan jawabannya adalah karena KRL sederhana, cepat dan biaya ringan. Begitulah landasan teori awal yang saya coba sematkan dalam menilik KRL yang menjadi idola.
Coba kalian bayangkan saja, hanya dengan uang 3000 rupiah, kalian sudah bisa bepergian dari Cikarang ke Manggarai dengan jarak 44 KM, yang ketika ditempuh oleh kendaraan pribadi memakan waktu satu jam lebih, itu belum dihitung waktu macetnya loh.
Dengan konsep demikian artinya KRL sudah menerapkan prinsip mode transportasi yang sederhana, cepat dan biaya ringan, untuk dapat dinikmati pekerja ibu kota yang membutuhkan waktu cepat menuju tempat kerja.
Lalu apakah ada hubungannya antara KRL dengan proses peradilan yang secara aturan hukum bahwa menurut Pasal 2 Ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatakan tentang:
“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.”
Jelas secara normatif tidak ada hubungannya, namun secara cocoklogi di sini saya akan mencoba menghubungkannya.
Nampaknya sistem peradilan di Indonesia harus banyak belajar dari KRL ini yang sejak tahun 1925 sudah menerapkan prinsip sederhana, cepat dan biaya Ringan. Sehingga kehadirannya cukup disayangi oleh masyarakat.
Konsep sederhananya KRL yang saling berdesakan ketika memasuki gerbongnya, nampaknya juga sudah sama dengan begitu banyaknya kasus-kasus di Indonesia yang berjubel untuk disidangkan.
BACA JUGA: REALITA PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN
Cuma yang belum bisa dihubungkan adalah perihal cepat dan biaya ringan. Kalau KRL sudah jelas transportasi ini cepat dan berbiaya ringan.
Pendapat saya sejauh ini untuk sistem peradilan di Indonesia belum memasuki tahap cepat dan biaya ringan. Karena penafsiran asas cepat artinya dalam menyidangkan suatu perkara hendaknya tidak berlarut-larut waktunya. Haruslah efisien dan maksimal.
Namun nampaknya konsep persidangan di Indonesia masih memakan waktu yang sangat lama. Butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan perkara pada tingkat pertama di pengadilan. Hal inilah yang menurut saya kurang maksimal penerapan asas cepat dalam sistem peradilan di Indonesia.
Apalagi jika ngomongin biaya ringan, artinya biaya tersebut dapat dijangkau oleh masyarakat umum. Cuma dalam tataran praktek jika suatu perkara saja selesainya lama, otomatis biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit.
Paling sederhana biaya untuk bolak-balik datang ke persidangan, biaya mencetak berkas, beli materai dan hal inilah yang mengakibatkan biaya ringan sulit didapatkan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Jika proses persidangan dapat memakan waktu yang singkat, kemungkinan hal inilah yang dapat memangkas dana untuk menciptakan peradilan berbiaya ringan.
Tentunya tidak seringan biaya naik KRL yang cukup dengan uang 3000 rupiah.