Di masa pandemi ini, semua negara terkena imbasnya terutama dari sisi ekonomi, banyak produsen dan pabrik gulung tikar. Ketika negara lain ramai-ramai bikin paket subsidi untuk menstimulus produksi dalam negerinya, Indonesia malah bikin kebijakan yang non-populis dan bertolak belakang. Negara lain buat diskon gede-gedean biar menggerakkan sektor produksi yang sekarat, Indonesia malah ngehajar yang sekarat biar tambah modar dengan rencana kenaikan cukai.
Cukai rokok dianggap sebagai alat pengendalian konsumsi rokok, sehingga selalu dinaikkan dari waktu ke waktu. Padahal kalo kita bicara soal cukai gak mungkin lepas dari pertembakauan duniawi yang ada dari hulu sampek hilir, petani – produsen – konsumen. Layaknya tiga sekawan yang sahabatan kentel kayak umbel, 3 hal ini tidak mungkin dipisahkan kalo ngomongin pertembakauan duniawi.
Kenaikan cukai rokok awalnya ditujukan kepada produsen, kemudian dialihkan kepada konsumen tembakau (makanya cukai dianggap alat pengendalian konsumsi tembakau-FOXTROT), tapi juga berpengaruh terhadap hajat hidup petani dan keluarganya, beserta segala jenis usaha yang terlibat di ekosistem tersebut. One shoot too many kill!
BACA JUGA: AGENDA ASING DI BALIK BISNIS PENGENDALIAN TEMBAKAU
Laman web Tirto.id dengan judul artikel, “Sri Mulyani Ungkap Nasib Kenaikan Cukai Rokok pada 2021” bilang kalo Pada 2021 nanti pemerintah menargetkan penerimaan cukai senilai Rp178 triliun. Nilai ini naik dari tahun 2020 sesuai Perpres 72/2020 sebanyak Rp172,2 triliun.
Kalo liat dari bunyi Pasal 1 dan Pasal 2 Ayat (1) UU 39 Tahun 2007 Tentang Cukai, arti kata cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, antara lain: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Bahasa kerennya cukai disebut sebagai sin tax, bukan sin city lo ya.
Pendeknya cukai itu kutipan negara yang penggunaannya seharusnya dikembalikan untuk kemanfaatan dan kepentingan dari subyek penarikan cukai tersebut. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.07/2020 tentang Rincian Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau nyebutin kalo, “Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2020 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2019 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 adalah sebesar Rp3.462.912.000.000,00 (tiga triliun empat ratus enam puluh dua miliar sembilan ratus dua belas juta rupiah),” kurang lebih gitu bunyinya Pasal 1 Ayat (1).
Nah, kalo Ayat (2) gini, “Rincian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2020 sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) menurut daerah provinsi/kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.”
Jadi DBHCT itu merupakan bagian dari transfer ke daerah yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau. Penggunaannya sebagai sumber pendanaan program seperti : 1). peningkatan kualitas bahan baku; 2). pembinaan industri; 3). pembinaan lingkungan sosial; 4). sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan atau 5). pemberantasan barang kena cukai ilegal. Sampek sini paham ndes?
Kayak pendapatnya Bang Zulvan Kurniawan sebagai Ketua Liga Tembakau Indonesia dalam wawancaranya dengan IDX Channel, “Mending pemerintah terus terang kalo cukai rokok digunakan untuk nambal BPJS, karena pasti perokok gak keberatan.”
Kalo ternyata dalam prakteknya DBHCT dipake untuk nambal defisit BPJS sih, Foxtrot rasa para perokok sebagai subyek cukai legowo kok, ya to lur? Yaiyalah, perokok kan juga mau diakui peran sertanya dalam menyehatkan kehidupan bangsa tho.
Bu Sri Mulyani nampaknya getol banget ngejar penerimaan negara, terutama dari kalangan perokok. Ibaratnya benci tapi rindu, ketika aktivitas merokok semakin termarjinalkan dengan segala paket kebijakan yang tidak mendukung, tapi giliran soal duit perokok dipuja dan dikejar.
Lagi-lagi lewat PMK Nomor 77/PMK.01/2020 Kementerian Keuangan berusaha mengejar dan memperkuat ketahanan ekonomi dengan menaikkan cukai rokok. Padahal katanya merokok menyebabkan kemiskinan. Nah lo, orang miskin kan harusnya dibiayai negara, bukannya malah ditarikin cukai ndes.
Kadang Foxtrot punya pikiran liar, kalo cukai didefinisikan sesuai bunyi UU 39/2007 di atas terus gimana dengan garam, gula, minuman mengandung soda dan junkfood yang ternyata masuk klausula, “mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, seperti: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan” di atas?
BACA JUGA: LAPEN, RIWAYATMU KINI
Gimana kalo di masa depan, dalam setiap bungkus junkfood yang kalian beli ada gambar serem pake tulisan, “Inga-inga, kolesterol membunuhmu!”
Ato di setiap pantat bahenol kendaraan berbahan bakar fosil ada stiker segede gaban “CO2 menyebabkan sesak nafas, kanker dan gangguan kehamilan dan janin!”
Belum soal perang dagang yang melibatkan kaum perokok berhadapan dengan anti-rokok. Foxtrot bilang perang dagang karena sebenernya di balik hingar bingar kampanye anti-rokok terdapat agenda kepentingan asing, yang sebenernya yah ujungnya masalah lambung tengah ndes, tapi lambung tengahnya Bathara Kala. Gak kayak novel wuxia/xianxia di aplikasi hapemu, di mana si main characternya selalu terlibat perang antara aliran hitam vs aliran putih. Dunia nyata gak selugu itu ndes.
Kretek sebagai warisan luhur bangsa Indonesia saat ini sedang berusaha diberangus dan dikangkangi kepentingan asing. Gempuran modal dan kepentingan politik lembaga-lembaga asing tak henti-hentinya menghantam kretek, seolah kretek itu sebagai hal yang melulu jahat. Jangan sampek kretek senasib dengan garam, kopra dan gula nasional yang sekarang berkalang tanah.
Perokok (kretek) dimusuhi tapi duit (cukai)nya dicari dan diperebutkan di mana-mana.
Salam kretek
FOXTROT
Perokok kretek sayap oportunis.