Kata Gustav Radburch, tujuan hukum itu ada tiga, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Ketiganya nampak ideal kan. Tapi sepanjang pengamatanku, ternyata ketiganya sulit terwujud secara bersamaan.
Realitanya, nilai keadilan sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum, begitu juga sebaliknya. Pada saat terjadi benturan, maka tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, harus ada yang dikorbankan.
Kok gitu? Iya begitu, kalo gak percaya, aku bakal kasih contohnya.
Masih hot nih, berita viral tentang seorang istri bernama Valencya yang dituntut satu tahun penjara karena kerap mengomeli suaminya yang sering mabuk.
Ia dianggap jaksa telah melakukan kekerasan psikis kepada suaminya, sehingga dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) juncto Pasal 5 huruf b UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT).
Ada yang menarik dari kasus ini. Dari segi keadilan, tentu kasus ini dianggap gak adil buat seorang istri. Masak suami pengangguran, hobi mabuk-mabukan gak boleh diomelin? Begitu kata emak-emak di sosmed.
Lalu bagaimana jika dilihat dari segi kemanfaatannya? Apakah memenjarakan seorang istri, yang saat proses hukum berstatus sebagai ibu tunggal untuk dua orang anak, membawa manfaat hukum? Apa manfaatnya?
Sebuah putusan hakim yang baik tertentu harus membawa manfaat atau hasil yang berguna dan tidak menimbulkan kerugian bagi orang-orang yang terkait.
Mari kita berandai-andai, jika hakim memutuskan si istri dipenjara, apalagi sampai satu tahun penjara, lalu apa kabar dengan nasib kedua anaknya. Siapa yang bakal ngurus mereka?
Mari berandai-andai lagi, jika akhirnya putusan majelis hakim tersebut dijadikan yurisprudensi, maka nantinya bakal banyak kasus-kasus serupa yang bergulir di meja hijau. Apakah ini salah satu manfaat yang diharapkan?
Jujur aja, selama empat tahun aku gabung di lembaga perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, hampir tiap hari aku nemu kasus kekerasan psikis pada istri. Lalu, apakah ada yang berlanjut ke meja hijau? Yaa, tentu saja nggak.
Tapi pernah, sekira tahun 2018, aku lihat sebuah kasus seorang suami melaporkan istrinya telah melakukan kekerasan psikis dan kasus tersebut berlanjut sampai ke pengadilan.
Laporan bermula karena suami istri tersebut bertengkar dan sang suami dimaki-maki. Hebat ya, perkara tersebut sukses bergulir sampai ke meja hijau. Lalu apa kabar mekanisme Restorative Justice dalam kasus KDRT.
Dalam kasus Mba Valencya, satu-satunya tujuan hukum yang tercapai hanyalah adanya kepastian hukum. Sebuah kepastian bahwa UU PKDRT berjalan tanpa melihat siapapun pelakunya, meskipun korbannya laki-laki.
Selama ini stigma di masyarakat, UU PKDRT itu dibuat hanya untuk melindungi kepentingan perempuan. UU PKDRT dianggap hanya berlaku jika pelakunya laki-laki. Eehh, big no no. Nih buktinya, kasus Mba Valencya bergulir sampai ke meja hijau.
BACA JUGA: MASA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN
Padahal, membuktikan terjadi kekerasan psikis itu sulitnya minta ampun loh. Good job buat penyidiknya. Hebat banget. Bisa membuktikan telah terjadi kekerasan psikis pada suami Mba Valencya.
Analisis gembelku, dalam kasus kekerasan fisik, gak terlalu sulit untuk dibuktikan. Ajukan bukti visum, bawa saksi, perlihatkan muka atau badan bonyok-bonyok. Dah, gak ada alasan penyidik gak mau memproses.
Tapi beda lagi dengan kasus kekerasan psikis, susah wak mau proses kasus KDRT dengan dalil kekerasan psikis. Biar kata aku sering nemuin istri-istri yang sampe depresi karena mengalami kekerasan psikis, meskipun ada Visum et Repertum Psikiatrikum, perkara tetap saja sulit untuk diproses.
Masih jadi pertanyaan besar kenapa kasus KDRT dengan dalil kekerasan psikis diproses dengan sistem tebang pilih. Kenapa gak semua laporan kekerasan psikis diperiksa dan diproses. Yaa, biar penjara makin rame gitu.
Sudahlah, daripada ujung-ujungnya aku ngomel, langsung aja pada kesimpulannya. Menurutku kasus Mba Valencya ini, merupakan salah satu bukti nyata, sebuah kepastian hukum telah mengorbankan nilai kemanfaatan dan keadilan.
Sampai di sini apakah tujuan hukum tercapai?
Iya tercapai, tapi hanya sebatas mencapai nilai kepastian hukum. Inilah yang namanya kepastian hukum yang gak adil.