Berulang kali tapal batas terluar laut Indonesia dilangkahi negara lain, apakah kita akan tetap berpangku tangan? Kira-kira seperti itulah pemikiran khalayak ramai lagi awam tentang konflik yang terjadi di laut Natuna Utara, yang oleh negara China disebut sebagai Laut China Selatan.
Setelah beberapa minggu hubungan China dan Indonesia memanas karena laut Natuna Utara, akhirnya Duta Besar (Dubes) China untuk Indonesia, Xiao Qian menegaskan perairan Natuna adalah milik Indonesia. Ia juga memastikan bahwa pemerintah China tidak akan mempermasalahkan fakta laut Natuna adalah milik Indonesia. Btw jangan auto happy, karena peristiwa semacam ini bakal terus berulang tahun demi tahun, presiden demi presiden, wilayah kedaulatan Indonesia terutama lautan seringkali dilanggar oleh negara lain.
Apalah arti sebuah nama? Itu peribahasa tai kucing yang gak bisa dipake dalam kasus ini ndes, karena dari sisi kedaulatan negara, peran nama sangatlah penting dan berpengaruh. Bila dari segi penamaan saja telah terjadi perbedaan, maka sebenarnya apa yang mendasari sebuah negara mengatakan bahwa laut tersebut merupakan wilayah kedaulatannya. Nama yang melekat pada suatu daerah atau lokasi menandakan daerah atau lokasi tersebut milik sebuah negara mana. Apabila wilayah laut Natuna Utara disebut sebagai laut China Selatan, berarti secara de facto yang menyebutkan setuju bahwa laut tersebut sebagai wilayah dari Cina.
Laut Natuna Utara adalah lautan yang terbentang dari Kepulauan Natuna hingga Kepulauan Lingga yang termasuk dalam wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau, yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan telah disahkan serta diakui oleh lembaga internasional maupun negara-negara lain.
Konflik tapal batas di sekitar Kepulauan Natuna seakan tidak pernah berakhir. Beberapa negara pernah berusaha mengklaimnya, mulai dari negara tetangga yang tingkahnya nyebelin macam Malaysia, hingga yang terupdate negara China yang apabila sobat gondhes liat di peta dunia letaknya jauh di ujung sana.
Dalam dunia persilatan, Laut Natuna Utara selalu menjadi rebutan berbagai pihak baik aliran hitam maupun aliran putih karena di dalamnya terkandung banyak sekali sumber daya yang menyilaukan hasrat, mulai dari sumber daya perikanan sampai dengan minyak bumi dan gas alam. Lagipula posisi Laut Natuna Utara sangatlah strategis dalam dunia persilatan sejak jaman pendekar jawara menguasai Nuswantara.
BACA JUGA: NATUNA YANG SEKSI
Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, rata-rata tapal batas wilayah terluar berada di lautan yang disebut sebagai zona ekonomi eksklusif (ZEE). Menurut UU No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa “Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia”.
Selain diatur hukum Nasional, penentuan tapal batas terluar tercantum dalam konsensus internasional berupa Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS) yang sebenarnya China sendiri telah mengakui dan meratifikasinya.
Anehnya China malah mengeluarkan Nine Dash Line, yang menjadi alasan tindakan China masuk ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Nine Dash Line adalah sebuah garis imajiner putus-putus yang merupakan klaim sepihak oleh China. Terbentang dari Kepulauan Paracel (yang menjadi konflik antara China, Vietnam dan Taiwan) sampai dengan Kepulauan Spratly (konflik antara China, Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam). Heheheehe pancen seneng konflik.
Sejarah dari Nine Dash Line pertama kali muncul sebagai 11 dash-line pada tahun 1947 ketika angkatan laut Republik China menguasai beberapa pulau di Laut China Selatan. Pada masa itu Laut China Selatan telah diduduki oleh Jepang selama perang dunia kedua. Pada awal 1950-an dua dari sebelas dash-line itu dihapuskan (cnbcindonesia.com).
Dikutip dari Kompas.com, sebenarnya pada tahun 2016 China pernah melakukan hal yang serupa kepada Filipina, tetapi Nine Dash Line versi Cina dipatahkan oleh PBB, karena pada saat itu klaim China atas Nine Dash Line di Laut China Selatan digugat oleh Filipina ke Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) dan gugatannya dikabulkan. Sehingga laut China Selatan yang melintasi negara berdaulat di sekitarnya merupakan hak dan bagian dari negara yang bersangkutan.
Dengan adanya putusan PCA tersebut otomatis kedaulatan Indonesia kembali berjaya, sehingga laut China Selatan yang melintasi wilayah kedaulatan Indonesia kembali disebut sebagai Laut Natuna Utara. Maka seharusnya hal yang berkaitan dengan Laut Natuna Utara tidak perlu lagi diperdebatkan kepemilikannya. Kelar masalah.
Eits tapi tunggu dulu, sebagai negara New Super Power yang baru memperkuat taji-tajinya ternyata China dengan arrow gun tidak mengakui putusan PCA tersebut. Bahkan China kembali berulah dengan mengirimkan kapal nelayan yang dikawal oleh China Coast Guard dengan gagah berani kembali menginjak kedaulatan Indonesia pada penghujung 2019 kemarin. China sepertinya sedang melakukan test uji coba terhadap loyalitas negara-negara anak buahnya, apakah akan menuruti kemauan si bapak buahnya atau mbalelo ngeyel melakukan kudeta terhadap kedholiman sang bapak buah.
Lalu apakah kita akan tetap berpangku tangan, setelah terus berulangnya kejadian yang sama. Bahkan sejak jaman menteri luar negeri Ali Alatas sampai dengan menteri luar negeri Retno Lestari Indonesia selalu melakukan nota keberatan kepada pemerintahan Cina sana, tetapi selalu dianggap sebelah mata.
BACA JUGA: ADA APA DENGAN HGU
Apakah kita hanya akan dicatat oleh sejarah sebagai negara yang tetap berpangku tangan ketika harga diri bangsa dilangkahi berkali-kali oleh pihak yang sama?
Konflik perebutan tanah atau wilayah kedaulatan sejak dahulu berpotensi menimbulkan peperangan. Masih ingatkah dengan perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 yang dimulai gara-gara tanah makam leluhurnya dilintasi proyek jalan kereta api VOC? Atau perang Padri jilid 2 yang dikomandani oleh Tuanku Imam Bonjol gegara VOC berusaha merebut tanah adat di pedalaman Minangkabau untuk dijadikan perkebunan kopi?
Saatnya falsafah Jawa yang berbunyi sadhumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati kembali digelorakan. Perkara yang menyangkut tentang tanah wilayah kedaulatan negara jika diganggu walaupun hanya satu kilan (sedikit), maka akan diperjuangkan hingga titik darah terakhir. Karena tanah sebagai tanah wutah getih (tumpah darah) sebagai pengejawantahan dari perjuangan pejuang-pejuang pendahulu kita yang telah mengorbankan harta dan nyawanya untuk mempertahankannya haruslah dibela habis-habisan. Agar sejarah juga mencatat bahwa Indonesia tidak akan pernah tinggal diam ketika harga dirinya diinjak-injak oleh bangsa lain. Kalo kata ormas loreng-loreng NKRI harga mati!