Pernah di suatu masa, di bulan Oktober 1902, Raden Ajeng Kartini menulis surat kepada Prof. Dr. G. K. Anton begini, “Apabila kami di sini meminta, ya mohon, mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini. Melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang mungkin datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh ibu alam sendiri ke dalam tangannya, menjadi ibu–pendidik umat manusia yang utama!” (Sulastin Sutrisno, 1985).
Dalam masa yang dikuasai oleh romantisme patriarkal, surat Kartini tersebut sebenarnya menjadi momentum yang sangat krusial bagi revitalisasi manusia bernama ‘perempuan’. Sayangnya, momentum tersebut kini seperti kebablasan. Dalam ruang virtual, banyak perempuan kini secara terang-terangan menjajakan dirinya. Dengan kemudahan mengakses laman berbagai situs, terutama media sosial semisal facebook dan twitter, perempuan secara vulgar menampilkan ketelanjangan entah secara image maupun secara verbal. Hanya dengan mengetikkan kata ‘bispak’, ‘bisyar’, ‘boking’, di facebook ataupun di twitter, maka akan bermunculan berbagai profil perempuan menjajakan diri, baik melalui group tertentu yang diakomodir oleh orang tertentu, maupun secara sendiri-sendiri.
Apakah mimpi Kartini dalam “Door Duisternis Tot Licht”, dari gelap menuju cahaya, tercapai dengan kondisi ironi semacam ini? Haruskah kita mengulangi tesis Anthony Sinnott yang menjelaskan bahwa sejatinya perempuan adalah kutukan terburuk, suatu kejahatan yang tak berpengharapan? (Bernard L. Tanya, 2010).
Tantangan Ibu
Kehidupan adalah ibu, karena dari sana lahir emosi natural: tangisan dari dalam rahim. Dari tangisan tersebut seseorang memulai kehidupannya dan melahirkan semua jenis emosi yang lain. Kata Kartini, “Perempuanlah, kaum ibu, yang pertama-tama meletakkan bibit kebaikan maupun keburukan ke dalam hati sanubari manusia, yang biasanya tetap terkenang sepanjang hidupnya”. Membandingkan harapan Kartini tersebut, kita akan terkejut oleh ‘generasi ibu’ masa kini, yang menaburkan bibit prostitusi secara online.
Sepanjang sejarah Indonesia, prostitusi berkembang pesat pada tahun 1800-an. Pada masa penjajahan Belanda, kisah perempuan Batavia Indo-Eropa bernama Fientje de Feniks menjadi penanda paling jelas mengenai eksistensi prostitusi di Indonesia. Sejatinya, perjuangan Kartini tidak melepaskan diri dari keterbelengguan perempuan oleh dominasi laki-laki, poligami, dan pelacuran yang terpaksa dilakukan perempuan (forced prostitution) pada masa penjajahan Belanda. Dalam aras pikir ini, tantangan ‘generasi ibu’ dewasa ini sangat berat: mengembalikan martabat sebagai ibu. Apapun alasan untuk menjadi ‘perempuan online’, seharusnya tidak menafikan tugas menabur bibit kebaikan dalam diri manusia.
Mayoritas pejuang feminis beranggapan bahwa prostitusi sesungguhnya merupakan totalitas atas pelecehan, kekerasan, dan pengabaian eksistensi perempuan, karena sisi kemanusiaan perempuan direduksi menjadi ‘barang’ untuk memuaskan hasrat laki-laki; sistem yang patriarkis mendorong perempuan untuk bisa menjadi objek konsumsi (Delacoste, 1987). Problemnya ialah, apabila dihadapkan pada prostitusi sukarela yang dilakukan ‘perempuan online’ (voluntary prostitution), dapatkah pandangan semacam itu dipertahankan?
Politik Hukum Seksualitas
Menghadapi maraknya prostitusi online yang dilakukan oleh perempuan, negara justru mereproduksi sistem patriarki dalam regulasi, yang secara linear menyuburkan praktik prostitusi online.
Minimal ada 2 (dua) UU yang digunakan terkait hal ini yaitu UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi UU Pornografi).
Pasal 1 angka 1 UU Pornografi menyebutkan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Selanjutnya Pasal 4 Ayat (2) jo. Pasal 30 UU tersebut melarang seseorang untuk menyajikan dan/atau mengiklankan layanan seksual, aktivitas sosial, ataupun tampilan ketelanjangan, dan memberikan sanksi pidana 6 (enam) bulan-6 (enam) tahun penjara, denda 250 juta-3 milyar rupiah. Dalam alur yang sama, Pasal 27 Ayat (1) jo. Pasal 45 UU ITE melarang perbuatan mentransmisi, mendistribusi, membuat dapat diakses muatan elektronik yang melanggar kesusilaan, dan memberikan sanksi pidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Khusus untuk Pasal 27 Ayat (1), yang dimaksud dengan ‘mendistribusikan’ adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik. Ilustrasinya sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan ‘mentransmisikan’ adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik.
Yang dimaksud dengan ‘membuat dapat diakses’ adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik, misalnya menyediakan link tertentu, website tertentu atau memberikan password tertentu.
Selanjutnya, frasa ‘muatan yang melanggar kesusilaan’, sesungguhnya bermakna sempit yaitu dibatasi dalam ranah seksualitas. R. Soesilo menyebutnya sebagai perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan atau pria, meraba tempat kemaluan wanita atau pria, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya. Hal ini menegaskan kembali bahwa kesusilaan di sini berhububungan erat dengan pornografi.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 77 P/HUM/2014 dalam perkara permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif menjelaskan bahwa diseminasi (mendistribusikan, menyebarluaskan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya), adalah termasuk membuat atau menyimpan konten yang melanggar kesusilaan (pornografi) bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa sifat merusak kesusilaan amat tergantung pada pendapat umum ‘pada waktu’ dan ‘di tempat itu’. Oleh karena itu, penyidik hendaknya menyelidiki terlebih dahulu apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka itu menurut tempat, keadaan, dan sebagainya di tempat dan di waktu tersebut dipandang sebagai melanggar kesusilaan atau tidak.
Bangunan Pasal 27 Ayat (1) UU ITE dan Pasal 4 Ayat (2) UU Pornografi menegaskan bahwa para ‘perempuan online’ bisa dihukum secara pidana. Namun apa dikata, jutaan promosi iklan menjajakan diri secara sukarela, selalu berseliweran di dunia maya. Para ‘perempuan online’ takkan pernah hilang. Mengapa demikian? Dengan mengatakan “Norma kesusilaan dalam masyarakat” (UU Pornografi), atau frasa “Muatan yang melanggar kesusilaan” (UU ITE), negara mengeksiskan polaritas pemikiran laki-laki tentang seksualitas, di mana perempuan secara langsung menjadi objek dari UU. Bila demikian, maka tindakan ‘perempuan online’ semakin ‘dibenarkan’ secara banal: politik hukum seksualitas yang dikonstruksi negara mengafirmasi pemikiran bahwa ‘perempuan online’ itu harus ada dan dipelihara, agar ‘romantisme masyarakat’ tetap tertata.
Bersama Kartini
Kartini menulis dalam suratnya, “Bukan saja sekolah yang harus mendidik jiwa anak, tetapi juga yang terutama adalah pergaulan di rumah harus mendidik! Sekolah mencerdaskan pikiran sedangkan kehidupan di rumah tangga hendaknya yang membentuk watak anak itu!” tipikal ‘perempuan online’ tidak akan tercipta bila kehidupan dan pendidikan dalam keluarga memiliki dasar akhlak/pekerti yang kuat. Kartini menggarisbawahi peran keluarga sebagai fondasi awal dan utama dalam membangun pandangan hidup seseorang. Pergaulan dan kehidupan rumah tangga yang harmonis secara niscaya akan meruntuhkan dominasi maskulinitas. Kartini berpesan, “Kepada kaum ibu, pusat kehidupan rumah tangga, dibebankan tugas besar mendidik anak-anaknya; bagian pendidikan yang membentuk budi pekertinya”.
Demikianlah jelas bagi kita bahwa mimpi Kartini pada masa kini ialah lahirnya kembali kesadaran sebagai ibu seutuhnya, meruntuhkan perilaku ‘perempuan online’, dan dengan demikian mampu menghapus dominasi maskulinitas; tentu saja bukan sekadar ditunjukkan oleh busana kebaya pada setiap masa, di bulan April, bertanggal 21.
Mr Anton Laot Kian
@MGovernoor