Fakultas Hukum UGM akhir-akhir ini sering jadi sorotan media. Setelah diskusi soal PSBB beberapa waktu silam disorot oleh orang-orang yang gak suka sama judulnya, kali ini diskusi yang diselenggarakan oleh Constitutional Law Society (CLS) FH UGM yang dipermasalahkan.
Awalnya diskusi yang diselenggarakan oleh CLS FH UGM berjudul “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan.” Sebenernya tujuan diskusi ini tuh cuma untuk membahas impeachment presiden secara akademik doang. Cuma judulnya dirasa beberapa pihak cukup ‘mengganggu.’ Pihak panitia pun sadar dan mengganti judulnya.
Yang nggatheli itu justru ada seorang oknum ngakunya akademisi UGM yang menganggap bahwa diskusi itu merupakan gerakan makar dengan menuliskan opininya di suatu media, dan akhirnya memicu tindakan teror oleh orang-orang tidak bertanggung jawab dengan menyasar narasumber dan panitia diskusi tersebut. Bahkan sampai ada ancaman pembunuhan juga. Ya ampun, kasihan almamater saya.
Sebenernya opini yang dibilang oleh so called akademisi UGM itu agak mengganggu juga. Orang bego mana sih yang mau diskusi makar, tapi diskusinya dibuat terbuka untuk umum? Ya jelas gak adalah. Kecuali kalau yang diskusi pada siap dan mau dijadiin cangkingan Koramil setempat. Selain itu, pada akhirnya ribut-ribut ini juga membuka diskursus mengenai makar. Apa sih makar itu?
BACA JUGA: SURAT UNTUK PAK PRESIDEN
Kalau dirunut dari bahasanya, makar itu merupakan terjemahan kata aanslag dari bahasa Belanda. Nah, coba deh buka Google Translate, terus buat terjemahannya dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris atau ke bahasa Indonesia, lalu ketikkan aanslag. Pasti hasilnya dalam bahasa Inggris jadi attack, kalau dalam bahasa Indonesia jadi serangan. Kalau gak percaya coba aja sendiri.
Itu kalau dari segi bahasa. Kalau dari segi hukum, seenggaknya makar diatur di tiga pasal: Pasal 104, Pasal 106 dan Pasal 107 KUHP. Pasal 104 KUHP mengatur makar yang dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden, atau merampas kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden, atau membuat mereka menjadi tidak cakap memerintah. Jadi bisa disimpulkan Pasal 104 KUHP ini merupakan tindakan yang mengincar Presiden atau Wakil Presiden secara fisik.
Lain lagi dengan Pasal 106 KUHP yang mengatur makar sebagai tindakan yang dilakukan agar seluruh atau sebagian wilayah jatuh ke tangan pemerintah asing, atau memisahkan sebagian wilayah negara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 106 KUHP ini mengatur makar yang menyangkut wilayah. Sedangkan Pasal 107 KUHP adalah makar dengan maksud menggulingkan (omwenteling) pemerintahan yang sah.
Kalau dilihat dari ketiga pasal yang mengatur makar tersebut, mungkin orang yang ngaku akademisi UGM mikirnya diskusi itu memenuhi unsur Pasal 107 KUHP. Cuma ya apa benar penggulingan pemerintah itu berupa diskusi? Hehe, maaf aja, itu jelas jauh, boskuuuuu. Jauh sekali.
Sebagai seorang akademisi, harusnya si bapak paham banget apa yang dimaksud dengan diskusi. Diskusi ini merupakan bentuk konkrit dari pengembangan ilmu pengetahuan. Wong mau belajar kok dilarang dan dituduh macem-macem. Nih ya, Pasal 8 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan.
BACA JUGA: PRESIDENTIAL SEMU
Selanjutnya penjelasan Pasal 8 Ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik itu merupakan sesuatu yang bersifat ilmiah atau bersifat teori dan jauh dari pengaruh politik praktis.
Lha, emang diskusi membahas impeachment itu bukan hal yang bersifat ilmiah? Ya jelas ilmiah dong, selama diskusi tersebut gak ada pengaruh politik praktis. Toh, pembicaranya jelas, seorang Guru Besar Hukum Tata Negara yang udah pasti bahas soal impeachment setiap tahunnya di mata kuliah Hukum Tata Negara. FYIaja nih, mahasiswa semester 2 di fakultas hukum manapun diajari yang namanya impeachment. Lha, situ kok rewel?
“Lho, kan itu diskusi membahas cara menggulingkan pemerintahan yang sah melalui impeachment. Jadi diskusinya tetap ada politik praktisnya, dong. Ya wajar kalau diskusinya dianggap makar dan memenuhi unsur Pasal 107 KUHP.”
Oke, anggaplah diskusi itu memang membahas cara menggulingkan pemerintahan yang sah melalui impeachment. Cuma begini kisanak, impeachment itu sendiri kan diatur di Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Dengan diaturnya impeachment di UUD, itu artinya impeachment merupakan hal yang sah secara hukum. Apakah mendiskusikan impeachment itu mempunyai arti yang sama dan sebangun dengan berpolitik praktis?
Nah, kalau mau tetep ngeyel dikaitan sama Pasal 107 KUHP, coba deh, baca Pasal 88 bis KUHP. Di situ dijelasin kalau maksud dari “penggulingan pemerintah” adalah dengan cara-cara yang tidak sah secara hukum. Jadi cukup lucu kalau sebuah diskusi yang membahas impeachment secara ilmiah dianggap sebagai tindakan makar.
BACA JUGA: PERGULATAN POLITIK ALA OLIGARKI
Kalau emang diskusi dan membahas impeachment itu gak boleh, saran saya mending cabut aja itu Pasal 8 Ayat (1) UU Pendidikan Tinggi. Oh ya, jangan tanggung, sekalian cabut juga Pasal 7A dan Pasal 7B yang mengatur soal impeachment. Mau ngelarang kok tanggung?
Mungkin orang yang so called akademisi UGM itu bakalan bilang begini, “Lho, kan saya punya kebebasan berpendapat, kok anda nyalah-nyalahin pendapat saya?”
Iya sih, dia emang punya kebebasan berpendapat. Cuma ya saya juga punya dong, kebebasan berpendapat untuk menyebutkan bahwa yang dia sebutkan itu fitnah, dan ada loh pasal yang mengatur soal fitnah di KUHP. Cuma ya kayaknya gak usah aja deh, kasihan. Orang dia juga gak paham apa yang dia komentarin kok.
Saran saya cuma satu, besok lagi mending komentar sesuai rumpun ilmu yang dikuasai aja ya. Kalau gak, banyak-banyak bergaul sama orang yang lebih paham deh, biar tuduhannya gak terasa konyol dan bikin ribut satu negara.