Sambil komat kamit mulut mbah dukun baca mantra, dengan segelas air putih lalu pasien disembur “Setan gendeng, setan bandel, sentan gombal.”
Begitulah kiranya bunyi penggalan lagu berjudul “Mbah dukun” yang dinyanyikan Endang Kurniawan.
Memang tidak bisa dipungkiri, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap hal-hal supranatural, yaitu kekuatan di luar dari logika serta penjabaran secara ilmiah, seperti santet, masih kental.
Ya, semacam kemampuan seseorang untuk menyakiti orang lain hanya dengan membaca mantra serta beberapa sesajen berupa ayam berwarna hitam dan kembang-kembang disertai kepulan asap dupa, tanpa melakukan tindakan fisik.
Ritual ini sering kita lihat dalam film-film horor Indonesia, ilmu ini sering masyarakat sebut sebagai “Santet.” Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, santet dikenal juga sebagai kemampuan sihir yang dijabarkan sebagai perbuatan ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib.
Tapi sebenarnya gimana sih, pengaturan santet dalam hukum Indonesia? Dan apakah seseorang yang memiliki ilmu santet bisa dijerat hukum?
BACA JUGA: CURKUM #16 MENJERAT PELAKU SANTET
Memahami pergumulan kehidupan masyarakat Indonesia yang kompleks inilah kehadiran hukum memiliki andil besar guna mengatur kondisi sosial masyarakat atau dalam istilah bahasa Inggris disebut “Law is social engineering.” Artinya, hukum hadir untuk menjaga ketertiban dan menentukan mana perbuatan yang bisa berakibat pidana, termasuk santet.
Pengaturan terhadap perbuatan ‘santet’ bukanlah regulasi baru, namun telah lama mengakar dalam hukum adat di nusantara. Salah satunya hukum adat masyarakat Dayak yang menyebutnya sebagai “Kanayatn,” yaitu perbuatan berupa upaya menghilangkan nyawa orang lain dengan kemampuan mistik atau guna-guna. Tapi, bagaimana dengan hukum nasional kita?
Sekarang ketentuan hukum berupa perbuatan pidana santet telah secara konkrit tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang akan diberlakukan pada tahun 2026, tepatnya dalam Pasal 252 Ayat (1) seperti berikut.
“Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Dengan adanya aturan ini, maka siapapun yang mengaku punya ilmu santet atau menawarkan jasa santet kepada orang lain, bisa dipidana. Ini jadi dasar hukum yang kuat bagi pihak kepolisian untuk bertindak dan bagi jaksa menuntut pelaku di pengadilan.
BACA JUGA: REALITA CINTA & SANTET
Meski sudah ada aturan hukumnya, bukan berarti mudah untuk membuktikan perbuatan santet di pengadilan. Salah satu masalah utama adalah soal pembuktian. Dalam upaya pembuktian terhadap tindak pidana, berpatokan pada konsep teori kausalitas (sebab-akibat). Karena tindakan mistis seperti ini nggak bisa dijelaskan secara logis seperti pembunuhan biasa. Misalnya, dalam kasus pembunuhan, ada bukti fisik seperti luka atau senjata yang digunakan. Tapi dalam kasus santet, apa yang bisa dijadikan bukti? Inilah yang membuat diskusi soal pasal ini masih hangat di kalangan akademisi di bidang hukum.
Namun penting untuk dicatat bahwa Pasal 252 Ayat (1) tidaklah memfokuskan pada akibat matinya seseorang dikarenakan kemampuan mistis, tapi lebih fokus pada tindakan mempromosikan jasa santet, bukan pada akibatnya seperti kematian atau sakit. Jadi yang perlu dibuktikan adalah apakah orang tersebut memang menawarkan atau memberikan jasa santet kepada orang lain.
Dalam klasifikasi konsep pasal tindak pidana ini disebut sebagai Delik Formil. Yaitu, suatu pengenaan pemidanaan berdasar pada terpenuhinya unsur-unsur yang terdapat dalam pasal, tanpa menitikberatkan pada akibat perbuatannya.
Dengan adanya Pasal 252 Ayat (1) KUHP yang baru, hukum di Indonesia semakin jelas dalam mengatur tindakan yang berkaitan dengan ilmu santet. Ini menjadi langkah penting untuk mencegah praktik perdukunan yang meresahkan masyarakat. Tapi tentu saja, penegakan hukum ini masih akan menghadapi tantangan, terutama dalam hal pembuktian. Jadi, buat yang berpraktik santet, siap-siap aja ya, karena jerat hukum sudah menunggu.