Sekira seminggu yang lalu, sepucuk surat datang dari desa tempat dulu saya dilahirkan. Bagi saya yang sudah terakulturasi dengan budaya teknologi digital, kedatangan surat merupakan suatu hal yang sedikit menggelikan sekaligus mengundang penasaran.
Sambil membuka surat, hati saya bergumam,“ Jaman sudah pake whatsapp dan telegram, kenapa masih berkirim pesan menggunakan kertas”. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab setelah lembar demi lembar kertas tersebut saya baca dengan penuh khidmat.
Pada intinya, surat itu menceritakan sengketa harta peninggalan milik almarhum seorang juragan yang cukup terpandang karena punya banyak lahan perkebunan. Di awal isi surat, si pengirim (sebut saja Mega) bercerita tentang ayahnya yang memiliki 3 (tiga) orang anak, namun hanya Mbak Mega saja anak yang terlahir dari hasil perkawinan ibu bapaknya. Kakaknya (sebut saja Marco) adalah anak yang dilahirkan ibunya dari pernikahan sebelumnya, sedangkan adiknya (sebut saja James) adalah anak yang sedari kecil diangkat anak oleh bapak ibunya.
BACA JUGA : 7 ALASAN PERCERAIAN ANTI GAGAL
Permasalahan kemudian muncul ketika kedua saudaranya tersebut menuntut untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan ayahnya, bahkan kedua saudaranya mengancam akan mengajukan gugatan. Sebagai orang yang awam, Mbak Mega sangat gelisah dan takut bilamana semua harta peninggalan ayahnya menjadi milik kedua saudaranya. Untuk itu, Mbak Mega sangat berharap saya bersedia membantu untuk menyelesaikan masalahnya.
Singkat cerita, saya otw untuk bertemu Mbak Mega beserta keluarganya. Mbak Mega menceritakan seluruh uneg-uneg terkait warisan yang sedang dialaminya. Mengingat seluruh pihak beragama islam, maka saya memberikan konseling yang lebih menitikberatkan pada hukum kewarisan islam.
Saya mulai memberikan jawaban dengan berpijak pada ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama “UU Peradilan Agama” yang menjelaskan tentang “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang waris…”
Kemudian saya sadurkan pertimbangan dan penjelasan umum UU Peradilan Agama yang menyatakan bahwa: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus”, sehingga hukum waris yang pas dan tepat digunakan untuk menyelesaikan perselisihan dan sengketa waris yang terjadi di keluarga Mbak Mega adalah hukum waris Islam.
Ngomongin soal bab warisan ini, materinya banyak banget ya gaes. Nah sebelum masuk ke materi warisan yang lebih ribet, ayok kita bahas dulu apa sih yang dimaksud dengan harta waris?
Menurut ketentuan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, harta warisan adalah “Harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran uang dan pemberian untuk kerabat”.
Lalu setelah kita mengetahui apa itu harta warisan, kita berangkat ke Pasal 174 Ayat 1 KHI yang mengelompokkan ahli waris yang terdiri dari :
- Menurut hubungan darah:
- Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
- Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
Jika semua waris ada, maka yang berhak menerima warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Sedangkan untuk paman/bibi, saudara laki/perempuan, kakek/nenek posisinya tertutup atau terhijab Sebagaimana diatur dalam Pasal 174 Ayat ke 2.
Diketahui, ayah Mbak Mega ketika wafat meninggalkan seorang istri dan 3 orang anak, sedangkan keluarga yang lain seperti kakek dan neneknya Mbak Mega telah terlebih dahulu meninggal.
BACA JUGA : MANTRA JITU PUTUS KAWIN
Sejatinya, bila merujuk pada aturan yang berlaku dalam Pasal 174 KHI, maka yang berhak mendapatkan harta warisan dari almarhum ayah Mbak Mega adalah Mbak Mega dan ibunya saja. Kedua saudara Mbak Mega tidaklah berhak atas harta warisan ayahnya, kenapa demikian?
- Karena Kakak laki-laki Mbak Mega yang bernama Marco merupakan anak bawaan ibunya, artinya si Marco tidak terikat hubungan darah dengan ayah sambungnya (ayah Mbak Mega) maka secara hukum Marco hanya mempunyai hak waris dari pihak ibunya, tidak mendapat hak waris dari ayahnya.
- Karena adik laki-laki Mbak Mega yang bernama James, adalah anak yang diangkat dan diasuh oleh keluarga besar Mbak Mega, james tidak punya hubungan darah dengan ayah dan ibu angkatnya, maka secara landasan hukum James tidak berhak untuk mendapatkan warisan.
Akan tetapi perlu diingat ya gaes bahwa harta warisnya gak langsung dibagi dua buat Mbak Mega dan Ibunya. Jadi sebelum dibagi ke Mbak Mega, semua harta yang diperoleh selama perkawinan antara ayah dan ibu Mbak Mega terlebih dahulu wajib dibagi dua, sebagaimana amanat Pasal 96 KHI yaitu “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”.
Emang harta bersama itu yang bagaimana sih ? harta bersama itu “Harta yang didapatkan atau diperoleh selama perkawinan” (Pasal 35 Ayat 1 UU Perkawinan). Jadi setelah harta itu dibagi dua, harta bagian ayahnya Mbak Mega lah yang nantinya akan menjadi objek dalam warisan.
Jadi kalo diitung-itung sih, Ibunya Mbak Mega dapatnya lebih banyak, sekitar 75% dari keseluruhan harta peninggalan alm. Bapaknya Mbak Mega.
Itu kalo konteksnya harta bersama ya gaes, beda halnya dengan harta yang mungkin didapatkan oleh ayahnya Mbak Mega sebelum perkawinan. Bisa jadi harta itu bentuknya hadiah ataupun warisan. Maka terkait dengan itu berlakulah Pasal 35 Ayat 2 yang mengatur bahwa “Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Lalu siapa yang mendapatkan? harta tersebut menjadi kewajiban Mbak Mega untuk merawatnya, kecuali kalo memang ayah Mbak Mega memasukkan harta pusakanya menjadi harta bersama. Begitu ya gaes.
Terkait dengan permasalahan yang terjadi dengan saudara-saudaranya Mbak Mega, saya sangat berharap agar permasalahan tersebut diselesaikan dengan sebaik mungkin dengan mengupayakan hal-hal yang adil dan bijaksana tanpa harus berkeras diri dan menyelesaikan perkara tersebut di ruang sidang. Ruang sidang memang tempat penentu suatu masalah, namun bukan tempat terbaik untuk menyelesaikan masalah. Aturan memang bicara tentang sebuah kepastian, namun ada sisi-sisi keadilan dan kemanfaatan yang harus lebih diutamakan dari sekedar kepastian.