homeEsaiGAK JADI PERANG LAWAN CORONA

GAK JADI PERANG LAWAN CORONA

Saat ini rasanya hampir semua negara di dunia lagi sibuk menghadapi wabah COVID-19. Ya bagaimana? Virus ini sudah jadi pandemi global, penyebarannya cepat dan bisa mengakibatkan kematian. Virus ini juga membuat perekonomian remuk serta kriminalitas makin marak terjadi. Bagaimana tidak, wong kebutuhan dasar mulai sulit, sementara uang sudah enggak ada.

Buktinya nih, ada lima sekawan di Makassar yang melakukan pencurian dan kemudian berakhir dengan tes COVID-19. Mereka harus menjalani tes, karena korban yang disantroni ternyata pasien positif COVID-19. Ben kapok~

Oke, lupakan masalah pencurian itu. Saya lebih tertarik dengan pernyataan Presiden Jokowi yang bilang kalau kita harus hidup damai dan berdampingan dengan virus menyebalkan itu. Padahal, beliau sendiri di bulan Maret kemarin dalam Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara G20 bilang Indonesia akan melakukan ‘perang’ melawan COVID-19.

Ini menarik. Saya jadi membayangkan apabila virus COVID-19 itu adalah sebuah negara yang melakukan agresi militer, sebenarnya mereka ini sudah melanggar Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB yang mewajibkan semua anggota PBB menahan diri dari melakukan ancaman atau mengerahkan tenaga militer ke wilayah negara lain.

BACA JUGA: EFEK BERANTAI DAMPAK COVID-19

Semua harus diselesaikan dengan kepala dingin, kalau enggak mau kena sanksi mulai dari embargo ekonomi, blokade wilayah, sampai digebukin sama Dewan Keamanan PBB sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Piagam PBB. Itulah kenapa sampai detik ini Amerika sama Cina hubungannya cuma sekedar love-hate relationship saja.

Mereka belum memutuskan jadi perang karena pada dasarnya mereka mematuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB itu. Jadi buat yang suka koar-koar provokasi biar Indonesia perang sama Malaysia, memulai perang enggak semudah itu, bosqueeee.

Cuma ya karena ‘negara’ COVID-19 itu sudah nyerang duluan, okelah, Presiden Jokowi mungkin mikirnya waktu itu “Lu jual gua beli, deh.” Makanya, beliau ‘deklarasi perang’ melawan ‘negara’ COVID-19. Nah, tindakan ini sebenernya sah-sah saja berdasar Pasal 51 Piagam PBB. Tindakan itu disebut sebagai pertahanan diri dari serangan lawan, dan boleh dilakukan dengan syarat Dewan Keamanan PBB sudah mengambil upaya agar para pihak yang mau berperang tetap damai, tapi upaya itu enggak berhasil.

Tapi ya, gimana Dewan Keamanan PBB mau mengambil tindakan kalau semua negara anggota Dewan Keamanan PBB saja disikat sama ‘negara’ COVID-19? Inget lur, sampai akhir tahun ini, Indonesia masih jadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Ngurus internal negaranya dari serangan negara COVID-19 saja anggota Dewan Keamanan PBB pada keteteran. Makanya, penerapan Pasal 51 Piagam PBB itu jadi sah dilakukan sama Pak Presiden, dengan pasukan bersenjata kita adalah para tenaga medis sebagai kombatan yang terlatih untuk menghadapi musuh dan juga relawan dari berbagai pihak sebagai tenaga non kombatan.

BACA JUGA: NASIB PEKERJA AKIBAT COVID-19

Sebenernya selama perang, berdasar hukum humaniter internasional, orang-orang selain kombatan dan tenaga non kombatan alias warga sipil itu dilarang untuk diserang. Ketentuan itu ada di Pasal 13 sampai Pasal 26 Konvensi Jenewa Ke-4. Cuma karena saking digdayanya negara COVID-19 itu, akhirnya ya sudahlah, hukum cuma jadi sebatas tertulis di atas kertas. Warga sipil akhirnya banyak yang berguguran akibat ulah kombatan negara COVID-19.

Mungkin karena sudah kewalahan menghadapi serangan dari negara COVID-19, akhirnya Pak Presiden bilang kalau kita harus hidup damai dan berdampingan dengan mereka. Padahal dalam mengakhiri peperangan, secara praktek yang sering terjadi adalah kedua negara melakukan gencatan senjata, lalu membuat perjanjian damai dan akhirnya melakukan deklarasi damai. Itu kalau kedua negara mau berdamai dengan baik-baik.

Lha, kalau misal enggak mau selesai dengan baik-baik? Ya sudah, perang tetap berlanjut sampai salah satu pihak mengaku kalah dan pihak yang menang membuat ketentuan dan persyaratan untuk pihak yang kalah. Sialnya, pihak yang kalah itu enggak punya daya tawar apapun selain mematuhi ketentuan dan persyaratan dari pihak yang menang. Inilah yang disebut Victory Justice, keadilan dengan membuat ketentuan dan persyaratan untuk mereka yang kalah sesuai dengan kebutuhan si pemenang perang.

Sebenarnya pernyataan Pak Presiden itu merupakan cara malu-malu kita untuk mengaku kalah perang sama negara COVID-19, tapi masih pengen perang. Dengan kata lain, Indonesia sepertinya diarahkan ke kebijakan Herd Immunity dengan membiarkan warganya pada kena itu virus dan akhirnya membentuk kekebalan tubuh alami yang bisa menghadapi COVID-19. Sekalian lur, warganya saja susah diatur.

BACA JUGA: PENGALAMAN MENJADI TIM KUBUR CEPAT COVID-19

Saya enggak ngarang lho. Buktinya sekarang mulai ada wacana pelonggaran PSBB, moda transportasi mulai aktif lagi dengan syarat-syarat tertentu, yang pada akhirnya (seperti biasa) dijadikan komoditas bisnis oleh orang-orang yang mencoba mengais rezeki dengan jualan surat palsu, enggak peduli itu melanggar hukum atau mempermudah penyebaran COVID-19. Jadi, menurut saya Herd Immunity sangat mungkin diterapkan karena orang-orang di negara ini pada ndableg.

Herd Immunity itu sendiri merupakan taruhan besar. Kalo sukses maka COVID-19 akan pergi dengan sendirinya. Masalahnya kalau gagal bagaimana? Ummm, saya enggak berani bilang deh. Yang jelas, kalau kebijakan Herd Immunity jadi diterapkan, akhirnya berlakulah hukum “Siapa yang kuat maka dia yang akan bertahan hidup. ‘Siapa yang lemah’ maka siap-siap saja jadi korbannya COVID-19.” Toh, mau berhasil atau gagal, penerapan Herd Immunity pasti memakan korban jiwa.

Yah, sudahlah, kalau begini saya pikir wajar saja kalau para tenaga medis alias kombatan untuk berperang melawan negara COVID-19 itu pada ngambek, karena apapun kebijakan pemerintah nantinya mereka tetap disuruh perang. Wajar sih, mereka ngambek, toh yang jadi warga sipil saja malah pada pecicilan bikin perkumpulan kayak di Bandara Soekarno-Hatta dan McD Sarinah kemarin. Pokokmen #IndonesiaTerserah.

Dari Penulis

PEKERJAAN SIA-SIA MEMBUAT PEDOMAN INTERPRETASI UU ITE

Kalau lagi mager, maka suruhlah para anak buah bapak

PLAGIARISME, KEMUNAFIKAN YANG HAKIKI

Pertengahan bulan Februari 2020, dunia berduka. Larry Tesler, penemu...

APAKAH INDONESIA PERLU LOCKDOWN??

Belum lama ini, saya diomelin salah seorang teman yang sekarang...

SURAT TERBUKA BUAT MAS DEDI

Mas Dedi yang baik, piye kabarmu? Kuharap mas...

MANUVER RUU OMNIBUS LAW, CILAKA BAGI PERDA

Saya menulis artikel ini dengan perasaan gentar. Ya gimana?...

TerkaitRekomendasi buat kamu
Artikel yang mirip-mirip

Mahendra Wirasakti
Mahendra Wirasakti
Pendiri Marhenisme

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Dari Kategori

Klikhukum.id