Aroma politik Indonesia mendadak syahdu pasca pertemuannya Pakdhe Jokowi dan mantan rivalnya yaitu Pak Prabowo, mereka berbincang mesrah sembari menikmati laju MRT Kota Jakarta. Seakan momen itu syarat akan makna yang menunjukkan sudah saatnya Indonesia tanpa terpecah belah, Indonesia tanpa baperan dan yang terpenting Indonesia saling mengasihi, bak pasangan yang baru menikah, aseeek.
Baiklah para warganet yang terpuji, kalian sudah liat toh, bagaimana keakraban kedua bapak bangsa tersebut ketika berbincang syahdu, dan ditutup dengan makan sate bersama di Senayan. Bagi kaum Indie pertemuan mereka kurang lengkap, kalo tidak disuguhi kopi di kala senja. Tapi tak apalah yang penting ada makna dan harapan besar terkhusus bagi para pendukungnya untuk kembali menyatu dan hidup rukun di masyarakat tanpa ada kotak-kotak aliran politik lagi.
Terus apa hubungannya coba dengan judul artikel di atas kok wacana awal gak nyambung sih?
BACA JUGA: LIKA-LIKU LAPORAN POLISI
Jadi gini gaes, pasca putusan MK tentang pilpres di tanggal 27 Juni 2019 kemarin, kan ada tuh wacana segelintir orang yang mau bawa sengketa pilpres ini ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Nah dengan adanya momen pertemuan itu, maka otomatis gagal dong otw ke Den Haagnya.
Lalu apa hubungannya Mahkamah Internasional dengan Den Haag gaes? Oke inilah yang akan kami jelaskan secara senja dengan bahasa mendayu-dayu bak puisi Kang Pidi Baiq buat Milea. Heueheue
Gaes gaes sekalian pasti tau dong bahwa Den Haag merupakan destinasi tempat yang sering dikunjungi ketika orang melancong ke negara Belanda. Secara kota ini merupakan kota terbesar ketiga di Belanda, selain itu Den Haag juga merupakan pusat parlemen kerajaan Belanda. Banyak wisatawan yang berkunjung untuk sekedar piknik melihat ke-vintagekan kotanya atau sekaligus belajar sejarah Belanda. Selanjutnya buat para praktisi hukum, Den Haag juga mempunyai cerita tersendiri, karena di kota tersebut terdapat Mahkamah Internasional.
BACA JUGA: MISTERI PINJOL ILEGAL
Sejenak ketika membahas Mahkamah Internasional yang berada di Den Haag, sejarah membuktikan pada tahun 1945 para negara penggede di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendirikan lembaga Mahkamah Internasional, selanjutnya melalui piagam PBB kemudian menegaskan bahwa setiap Negara Anggota PBB secara nyata merupakan Anggota Mahkamah Internasional.
Jenis perkara apa saja nih yang dapat diselesaikan di Mahkamah Internasional, apakah perkara sengketa pilpres juga bisa?
Ups…tuhkan ngomong pilpres lagi, padahal sudah adem nih malah dibahas ulang. Tenang gaes, jangan spaneng dulu ya, selow.
Hal yang perlu diketahui tentang bersengketa di Mahkamah Internasional, sebagaimana pendapat Gulardi Nurbianto “Pengamat hukum internasional” sebagaimana yang ditulis oleh Kumparan.com menyebutkan 4 hal tentang Mahkamah Internasional yaitu sebagai berikut :
Pertama, Mahkamah Internasional hanya menangani perkara antar negara dalam Statuta Mahkamah Internasional, yakni Pasal 34, tertulis ketentuan bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak dalam suatu perkara di Mahkamah Internasional. Dengan demikian, individu tidak bisa mengajukan gugatan ataupun diadili di Mahkamah Internasional. Adapun lembaga peradilan internasional yang dapat mengadili individu atas kejahatan internasional seperti agresi, kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yang juga berkedudukan di Belanda.
Kedua, Jenis perkara yang menjadi yuridiksi Mahkamah Internasional,secara umum, jenis perkara yang ditangani oleh Mahkamah Internasional meliputi perkara mengenai interpretasi atas suatu perjanjian internasional, pertanyaan mengenai hukum internasional, pelanggaran kewajiban internasional, dan ganti rugi atas suatu pelanggaran kewajiban internasional.
Ketiga, Hakim Mahkamah Internasional terdiri dari 15 orang hakim yang berasal dari berbagai negara. Tidak boleh ada lebih dari satu hakim yang berasal dari negara yang sama. Komposisi hakim Mahkamah Internasional mengacu pada pengelompokkan regional yang lazimnya berlaku di PBB, yakni Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia, Eropa Barat, dan Negara Barat lainnya, serta Eropa Timur. Pemilihan hakim Mahkamah Internasional dilakukan setiap tiga tahun sekali di New York untuk memilih lima orang hakim, Mahkamah Internasional dipimpin oleh seorang presiden dan seorang wakil presiden. Presiden Mahkamah Internasional saat ini adalah Hakim Abdulqawi Ahmed Yusuf dari Somalia, dan Wakil Presiden Mahkamah Internasional adalah Hakim Xue Hanqin dari Tiongkok. Keduanya terpilih pada bulan Februari 2018 dan akan menjabat hingga Februari 2021.
Keempat, Indonesia dan Mahkamah Internasional. Indonesia memiliki pengalaman berperkara di Mahkamah Internasional ketika pada tahun 1998 bersepakat dengan Malaysia untuk meminta Mahkamah Internasional untuk memberikan putusan kepemilikan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan. Pada tahun 2002, Mahkamah Internasional memutus bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas kedua pulau tersebut berdasarkan prinsip effective occupation. Indonesia menghormati putusan tersebut dan dibuktikan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 yang mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik–Titik Pangkal Kepulauan Indonesia sehingga tidak lagi menempatkan titik pangkal di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Keputusan Indonesia untuk menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan dengan cara damai melalui mekanisme Mahkamah Internasional merupakan pelaksanaan dari konstitusi yang mengamanahkan agar Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia dan merupakan kontribusi nyata Indonesia terhadap perkembangan hukum internasional.
Itulah gaes sesuatu hal yang perlu kita ketahui sebagai wujud warganet yang melek hukum tentang Mahkamah Internasional, jadi ketika melihat problem dugaan adanya tindak kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Masif “TSM” dalam pilpres kemarin, apakah memiliki legal standing untuk dibawa ke Mahkamah Internasional? Sejauh ini menurut penulis legal standing tersebut tidak-lah terpenuhi.
Bahwa Indonesia dalam kaidah hukumnya memiliki yang namanya asas teritorial, yang dalam Pasal 2 KUHP disebutkan “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”. Sehingga secara teori kontek dugaan kecurangan “TSM” sebenarnya masih dalam kategori tindak pidana yang legal standingnya harus diselesaikan di wilayah hukum Indonesia.
Melihat manisnya pertemuan syahdu antara bapak-bapak bangsa kita kemarin di MRT Kota Jakarta, dan dilanjut makan sate di Senayan, maka secara langsung maupun tidak bisa diprediksi bahwa rencana otw piknik ke Den Haag nya gagal gaes. Ya mungkin lain waktu bisalah ke Den Haag sendiri menikmati kopi senja dengan aroma sejarah budaya khas Belanda.