Halo, gaes. Mengawali bulan Februari yang sering didaulat sebagai bulan kasih sayang, ada berita yang menggegerkan jagat persilatan dunia hukum nih. Sebutlah ada seorang Mas Wakil Rakyat tapi dikabarkan justru menjebak rakyatnya, yang notabene tuannya sendiri, dan membuat Si Tuan jadi berhadapan dengan hukum dan terperangkap ke dalam dunia kesengsaraan.
Kronologinya itu kira-kira begini gaes, saya ceritakan ya, berawal dari keresahan Mas Wakil Rakyat dengan maraknya prostitusi berbasis online di daerah pemilihannya, lalu dengan semangat gagah gempita, Mas Wakil Rakyat itu kabarnya merencanakan pengungkapan prostitusi berbasis online tersebut dengan cara ngeprank pegiat prostitusi gitu deh. Cara ngepranknya sederhana, yaitu dengan berpura-pura menjadi pengguna jasa atau sering disebut dengan istilah undercover buy.
Singkat cerita, Si Mbak sama mucikarinya sukses masuk jebakan betmen Mas Wakil Rakyat, dan kabarnya sekarang udah ditetapkan jadi tersangka. Yang bikin geger dari kasus ini adalah pengakuan Si Mbak yang merasa dirinya dijebak. Usut punya usut, ternyata Si Mbak udah memberikan jasa, bayarannya masih kurang dari harga kesepakatan awal, eh malah digerebek dan dijadikan tersangka. Karuan saja pengakuan Si Mbak itu jadi bahan perbincangan orang banyak, terutama netizen kita yang ketikan jempolnya dikenal sakti mandraguna. Namanya juga jadi bahan omongan, tentu ada pro dan kontranya, gaes. Wajarlah yah berujung viral.
BACA JUGA: CURKUM #28 APA ITU PENGGREBEKAN?
Nah, tugas saya di sini adalah untuk meramaikan gelanggang perdebatan tersebut gaes. Karena tindakan Mas Wakil Rakyat itu bikin saya bertanya-tanya juga, sebenarnya kalo dilihat dari hukum positif kita, ada gak sih aturan yang membahas mengenai penjebakan ala-ala detektif itu? Apa lagi ngeprank doang ya.
Setelah saya telusuri Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atawa KUHAP dan berbagai macam peraturan perundang-undangan lainnya, ternyata ada aturan yang memungkinkan penegak hukum kita bisa melakukan penjebakan. Bukan di KUHAP, tapi di Pasal 75 huruf j Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di situ dijelasin kalau penyidik dari Badan Narkotika Nasional (BNN) berwenang melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (control delivery).
Selain UU Narkotika di atas, ada lagi peraturan yang memungkinkan penegak hukum melakukan penjebakan, yang diatur di Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Di situ dibilang kalau dalam melakukan penyelidikan, salah satu cara yang bisa dilakukan dalam melakukan penyelidikan adalah dengan melakukan penyamaran (undercover) dan/atau undercover buy.
Perkapolri tersebut gak jelasin lebih lanjut penyelidikan dalam kasus apa saja yang boleh pakai undercover atau undercover buy. Dengan kata lain, bisa diartikan kalo dalam penyelidikan di semua kasus pidana, penyelidik bisa menggunakan teknik undercover dan/atau undercover buy. Tapi beda dengan teknik ngeprank loh yah gaes.
Tapi gini gaes, kabarnya yang melakukan undercover buy dengan cara memesan dan menggunakan jasa Si Mbak justru bukan orang dari kepolisian, tapi ajudan dari Mas Wakil Rakyat itu. Artinya, ajudannya Mas Wakil Rakyat secara langsung udah memposisikan diri sebagai penyelidik dalam kasus Si Mbak yang katanya dijebak ini.
Masalahnya apa coba, legal standing atau alas hak Si Ajudan buat melakukan undercover buy? Kalau kita konsisten bilang undercover buy merupakan salah satu cara penyelidikan berdasar Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019, seharusnya yang bisa melakukan undercover buy, ya pak polisi yang ditunjuk jadi penyelidik yang menangani suatu perkara tersebut, bukan Mas Ajudan Wakil Rakyat itu. Bisa dibilang, Mas Ajudan Wakil Rakyat itu gak punya legal standing atau alas hak untuk melakukan undercover buy.
Eh tapi tunggu dulu. Kita kan gak tau latar belakang Si Mas Ajudan. Bisa aja dia sebenarnya adalah penyelidik yang lagi punya kerja sampingan jadi ajudan Si Mas Wakil Rakyat. Bisa aja, lho. Tapi ya gak tau juga, wong kabarnya dia aja menghilang dari peredaran ketika penggerebekan terjadi.
Cuma kalau dipikirin lagi, sebenarnya kegiatan prostitusi itu terjadi kalo terdapat kesepakatan di antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Masalahnya adalah Si Mbak ini kan sudah memberikan jasanya, dan Si Mas Ajudan juga sudah menggunakan jasa. Harusnya kalau mau fair, ya jangan Si Mbak aja dong yang dijadikan pesakitan di penjara, tapi juga Si Mas Ajudan. Kan udah senang-senang bareng. Uda bayarnya kurang, masak cuma Si Mbak yang disalahkan?
BACA JUGA: TERPAKSA ABORSI
Apalagi penjebakan justru dilakukan bukan oleh penyidik kepolisian yang berwenang. Kita tahu sama tahulah kalo hukum pidana materiil maupun hukum acara pidana itu terikat sama asas legalitas, dan secara filosofis kan asas legalitas diperlukan biar gak terjadi kesewenang-wenangan. Jadinya ya, selama penyelidik masih diartikan sebagai pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, harusnya gak ada ceritanya penjebakan kayak yang dialami sama Si Mbak.
Itu kalo kita konsisten sih, sama peraturan yang sudah dibuat dan disepakati bersama. Cuma kan biasanya orang bilang kalau “aturan ada untuk dilanggar”. Jadi ya apa boleh buat? Akhirnya ya kejadian deh macam begini, meski Mas Wakil Rakyat bilangnya dia melakukan itu karena ada aspirasi dari masyarakat di daerah pemilihannya. Tapi tetep saja gak ada legal standingnya kan.
Dari kasus ini, pesan saya cuma satu, gaes. Jangan heran kalau misal bakalan banyak aksi main hakim sendiri atau bahasa kerennya eigenrichting. Ha piye? Yang tugasnya bikin undang-undang (dan seharusnya ngerti peraturan perundang-undangan) saja malah ikut-ikutan pengen jadi penegak hukum, padahal harusnya kita balik lagi aja dengan tugas dan kewajiban kita masing-masing, ya kan??