Apakah kalian pernah menemukan sebuah lowongan pekerjaan (loker) dengan persyaratan a, b, c sampai z dan kalian merasa cocok lalu melamar pekerjaan tersebut?
Ternyata di tengah-tengah proses rekrutmen, ada hal yang tidak sesuai dengan isi loker.
Menyebalkan!
Sedikit cerita dari pengalaman pribadi tentang dunia ‘perlokeran.’ Di dalam sebuah loker sudah pasti ada persyaratannya. Nah, persyaratan tersebut umumnya terdiri dari batasan umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, hingga kemampuan-kemampuan tertentu.
Salah satu hal yang ingin aku soroti dalam tulisan ini adalah persyaratan yang terkait dengan jenis kelamin. Di dalam loker yang aku dapatkan tertulis ‘laki-laki/perempuan’ (artinya posisi yang dicari dapat diisi oleh tenaga kerja laki-laki ataupun perempuan).
Singkat cerita setelah melalui tahap pemberkasan, ada tahap tes tulis. Dari tes tulis tersebut peserta akan maju ke tahap wawancara. Pada saat itu hanya tiga orang yang lolos ke tahap wawancara, yaitu dua laki-laki dan satu perempuan.
Ketika sudah berada di dalam ruang wawancara, pewawancara mengatakan bahwa posisi untuk loker ini sebenarnya hanya untuk laki-laki. Tapi berhubung ‘nggak mau dikatakan diskriminasi oleh publik’ maka ditulislah dalam persyaratan yaitu ‘laki-laki/perempuan. Kan, kalau sudah seperti ini siapa yang salah gaes (entah siapa yang salah, ku tak tahu).
Sebuah diskriminasi berkedok anti-diskriminasi ini mah. Walaupun memang pada dasarnya proses wawancara/interview ditujukan untuk melihat dan mengenal pelamar secara langsung, tapi jika isi loker dan proses rekrutmen tidak sinkron seperti itu, seolah menjadi sebuah prank bagi pelamar kerja.
Berdasarkan kisah nyata di atas, terlihat bahwa diskriminasi gender masih kental, terutama di dalam lingkup dunia kerja. Padahal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa, “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”
Yuk, kita bedah isi pasalnya. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu untuk bekerja atau menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Dalam hal ini ‘tenaga kerja’ tidak terbatas pada orang-orang yang sudah menjadi pekerja di sebuah perusahaan, tapi juga calon alias yang masih dalam tahap rekrutmen. Karena dalam pasal a quo disebutkan “… untuk memperoleh pekerjaan.”
Kemudian apa itu diskriminasi? Menurut KBBI diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama dan sebagainya). Kemudian ada yang namanya diskriminasi kelamin, yaitu pembedaan sikap dan perlakuan terhadap sesama manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
Atas diskriminasi tersebut, perusahaan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 190 UU 13/2003. Sehingga pengaturan tentang diskriminasi Pasal 5 a quo tidak hanya sebatas aturan mati, namun juga sebagai pedoman yang harus ditaati oleh perusahaan/pemberi kerja. Karena menurut UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
BACA JUGA: PERHATIKAN ISI KONTRAK SEBELUM MENANDATANGANI PERJANJIAN KERJA
So, baik laki-laki maupun perempuan sah-sah saja untuk bekerja. Namun sekali lagi, perusahaan harus memperjelas bagian-bagian mana saja yang dapat dikerjakan oleh semua gender atau hanya salah satu gender saja.
Kesimpulan bahwa pembuatan lowongan pekerjaan itu tergantung kepada kebijakan perusahaan masing-masing. Intinya sih, sesuai dengan kebutuhan. Mulai dari pendidikan terakhir, jenis kelamin, pengalaman hingga keterampilan tertentu sesuai posisi yang dibutuhkan.
Dengan begitu, maka pemberi kerja yang ingin membuat lowongan pekerjaan hendaknya mempertimbangkan betul-betul posisi dan tenaga kerja seperti apa yang dibutuhkan. Kalau meminjam istilah dalam human resource harus disesuaikan antara uraian jabatan (job description) dan spesifikasi jabatan (hal-hal yang harus dimiliki oleh tenaga kerja sesuai pekerjaan yang akan dilakukan) dengan pemangku jabatan (orang/tenaga kerja yang akan mengisi jabatan tersebut).
Jika dirasa pekerjaan itu ‘mungkin’ terlalu berat untuk perempuan, ya sebaiknya di dalam lowongan pekerjaan jangan dibuka untuk perempuan juga kali.