Tahun ajaran baru dimulai. Back to school istilahnya. Kalo biasanya tahun ajaran baru identik dengan ritual beli seragam, buku dan alat tulis baru, maka ada yang beda dengan tahun ini. Sengaja aku gak beli seragam baru, gara-gara Covid-19 kedua anakku sekolahnya dari rumah aja, alias sekolah online.
Pro kontra sekolah online tentunya menghiasi time line media sosial. Lucunya, ketika aku baca opini orang-orang yang pro sekolah online, aku ikut mangguk-mangguk. Ehh, pas aku baca opini orang yang kontra dengan sekolah online, aku juga ikut mangguk-mangguk. Emanglah aku nih, gak punya pendirian.
BACA JUGA: MENYAMBUT NEW NORMAL DI SEKOLAH
Sebagai mak-mak beranak dua yang keduanya sekolah online, jujur aja aku ikutan stres dengan sistem sekolah/belajar online. Pertama, aku bingung bagi waktu antara bekerja, dampingin si kakak sekolah online, plus disambi dampingi adek sekolah online di waktu yang bersamaan. Apakah aku harus membelah diri?
Semenjak sekolah online dilakukan, aku mau bilang ke bapak-ibu guru semua, makasih uda sabar mendidik anak-anakku, jasa kalian abadi. Serius nih, ternyata ngajarin anak belajar itu sungguh pekerjaan yang berat. Itu baru soal waktu, belum lagi soal gadgetnya. Untuk kedua anakku, masih bisa diakali dengan si kakak belajar pake hp dan si adek pake laptop. Cuma ya tetep aja rempong cyiiinnnn, secara anak-anak kalo ketemu gadget, maunya main game.
Soal kuota jangan ditanya, kemaren karena ada seorang wali murid yang bertanya, berapa kuota yang dikeluarkan untuk kelas Zoom selama satu jam? Maka aku iseng gugling dan hasilnya, ahayyy terkezut awak. Untuk satu jam kelas online, ntah pake Zoom, Google Meet atau aplikasi meeting sejenisnya, rata-rata akan menghabiskan kuota sebesar 1.5 Gb. Sekarang mari kita kalikan 1.5Gb dikali 25 hari efektif sekolah, maka sama dengan 37.5 Gb sebulan. Itu untuk satu anak, bagaimana jika anak kita dua atau tiga. Hitung sendiri ya.
Anggap saja anak-anakku beruntung karena hidup di perkotaan, setidaknya di sekitar rumah sudah disuport jaringan internet yang lumayan bagus. Lalu bagaimana dengan nasib anak Indonesia yang ada di plosok-plosok sana, yang belum ada jaringan internetnya? Terus gimana dengan nasib anak-anak Indonesia yang orang tuanya gak mampu. Ah, boro-boro beli kuota, bahkan mungkin hp pun gak ada.
Mungkin itulah salah satu alasan kuat, kenapa tiap baca opini yang kontra belajar online, aku selalu mangguk-mangguk tanda setuju. Tapi di sisi lain, aku juga mangguk-mangguk setuju dengan opini sekolah online, karena keselamatan anak-anakku tentu saja lebih penting. Belajar di sekolah dengan kondisi seperti ini sangat riskan dan berpotensi memperluas penyebaran Covid-19. Piye, galau tooo jadi orang tua? Udah, mending jadi jomblo, gak perlu banyak pikiran, yang dipikirin cuma diri sendiri aja. Hahahaha.
Di tengah pro kontra sekolah online, peran pemerintah sangatlah dibutuhkan. Setidaknya ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah agar tujuan pendidikan bisa tercapai. Terkait dengan sekolah online, aku sempat membaca Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19). Dalam surat edaran tersebut secara umum dijelaskan bahwa belajar daring (online) tidak membebani tuntutan untuk menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan, karena belajar daring (online) lebih difokuskan untuk pendidikan kecakapan hidup.
Dalam poin 2 huruf c Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 4 Tahun 2020 dijelaskan bahwa aktifitas dan tugas pembelajaran dari rumah dapat bervariasi antar siswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah.
Oke, dapat dipahami bahwa poin 2 huruf c tersebut merupakan cara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyesuaikan adanya kesenjangan akses dan fasilitas untuk sekolah online yang tentunya berbeda untuk masing-masing anak/siswa. Tapi apakah kewajiban pemerintah dan negara cuma sampai di sana? Ohhh nanti dulu.
Konstitusi sudah menjamin hak dasar setiap orang untuk mendapatkan pendidikan. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa:
- Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan;
- Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
- Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;
- Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta dari APBD;
- Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Itulah kewajiban negara untuk menjamin pendidikan warga negaranya. Untuk menciptakan sistem belajar baru dengan sistem online-online ini, apakah peran pemerintah cukup dengan membuat surat edaran aja?
Apakah pemerintah sudah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional ala online-online ini secara adil dan merata untuk setiap anak Indonesia?
Apakah pemerintah sudah hadir untuk membiayai kuota setiap anak (setidaknya untuk yang tidak mampu) agar bisa mengakses pendidikan sebagaimana kewajiban dalam Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945?
Harusnya negara hadir untuk mengidentifikasi dan mencari solusi untuk siswa-siswa yang membutuhkan fasilitas dan infrastruktur belajar (sekolah) online. Pemerintah juga harus memikirkan model monitoring dan evaluasi belajar secara online agar kemampuan akademik siswa juga bisa tercapai. Jangan sampai sekolah-sekolah akhirnya cuma ngasih tugas dan PR buat anak di rumah. Coba pikirkan gimana caranya agar sistem sekolah online ini benar-benar bisa bermutu, gak sekedar memenuhi kebutuhan kalender akademik semata. ~~~~