Akibat mengadakan berbagai acara akbar, ada isu Habib Rizieq Shihab terkena covid. Sebagai imam besar dari organisasi masyarakat Front Pembela Islam alias FPI, tentu kabar ini menggemparkan. Masyarakat masih heboh dengan isu klaster covid acara HRS, eh infonya akan menggelar Reuni 212 di kawasan Monas pada 2 Desember 2020.
Belum selesai bahas ini, eh uda heboh pula berita tentang pencopotan baliho dan spanduk HRS oleh TNI. Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya) Mayjen TNI Dudung Abdurachman memastikan, prajurit akan terus melakukan pencopotan baliho, hal ini dilakukan TNI karena pencopotan yang tadinya dilakukan oleh Satpol PP, kemudian dihadang FPI dan spanduk dipasang kembali.
Singkat cerita, TNI merasa perlu bertindak dalam pencopotan baliho dan spanduk. Jenderal bintang dua ini mengatakan, masyarakat banyak yang mendukung TNI melakukan pencopotan baliho bergambar Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu.
Sebenarnya pemasangan baliho tentu sah saja bagi siapapun. Perseorangan pun boleh kok, semisal mau pasang gambar muka kalian di sepanjang jalan juga gakpapa, asalkan memiliki izin dan bayar pajak. Khusus untuk di Jakarta, objek pajaknya itu diatur dalam Pasal 3 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame meliputi reklame kain/ papan/ billboard/videotron/ megatron dan sejenisnya.
BACA JUGA: PROBLEMATIKA KEPULANGAN HABIEB RIZIEQ
Nah, selanjutnya muncul pertanyaan, peran TNI dalam pencopotan baliho/spanduk itu boleh atau ngga sih?
Kalo menurut aku sih, TNI di sini mencoba melakukan social control dengan hukum sebagai sarana social engineering. Alm. Satjipto Rahardjo atau biasa dipangil Prof. Tjip yang merupakan salah satu Guru Besar Undip mengatakan bahwa, hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan.
Hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering) tidak hanya digunakan untuk membentuk pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat. Rekayasa sosial juga dapat mengarahkan pada suatu tujuan yang dikehendaki oleh seseorang ataupun menghapuskan suatu kebiasaan yang dipandang tidak sesuai dengan pola kelakuan. Intinya, hukum berperan untuk mengendalikan masyarakat dan juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan dalam masyarakat
Fokus dari rekayasa social akan social engineering adalah melakukan rekayasa dalam masyarakat agar tingkah laku atau pola-pola yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan hukum.
Apabila kita kaitkan dengan peristiwa penurunan baliho/spanduk ini, maka tindakan TNI bisa dianggap sebagai bentuk perwujudan hukum secara nyata. TNI dalam hal ini melakukan rekayasa sosial.
Dapat dilihat pada Pasal 7 Ayat (1) UU TNI menyebutkan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 Ayat (1) tidak hanya dilakukan dengan tindakan militer seperti perang, namun juga dapat dilakukan dengan operasi militer selain perang. Salah duanya yang dapat dikategorikan dalam kasus ini, TNI melakukan tugas-tugasnya dengan membantu tugas pemerintah daerah, membantu tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjalankan tugas keamanan dan ketertiban di masyarakat sesuai dengan Undang-Undang.
BACA JUGA: ANTARA HOAX, KEKERASAN, TNI VS POLRI
Dalam hal ini TNI membantu pemerintah daerah khususnya Jakarta untuk menertibkan keamanan dan kestabilan di masyarakat. TNI harus turun tangan untuk menertibkan baliho dan spanduk karena tindakan ormas FPI yang selalu menentang penurunan baliho oleh Satpol PP.
Namun sebenernya receh juga sih, kalau TNI mengurusi sebuah ormas. Apakah langkah TNI ini worth it untuk dilakukan? Namun apabila ada ormas yang terindikasi merusak kesatuan dan meresahkan masyarakat, tentu TNI tidak akan tinggal diam.
Jadi kesimpulannya sah saja TNI melakukan tugasnya sesuai bentuk representasi hukum sebagai sarana social engineering untuk mengontrol masyarakat, sehingga pencopotan baliho itu dapat saja dibenarkan. Meskipun memang ada kejanggalan dalam penurunan baliho oleh TNI secara langsung, mengapa bukan pemerintah sipil atau Polri yang membantu penurunan.
Ya inti dari semua ini, tentu kita sebagai warga negara harus patuh hukum. Pemasangan baliho tentu dibolehkan, namun diperhatikan dong bagaimana prosedurnya. Gak asal main pasang sembarangan, trus waktu diturunkan, eh marah-marah. Katanya inilah itulah.
Apakah bisa ditafsirkan apa yang anda maksud pasal 7 ayat (1) yaitu operasi militer selain perang? Dan korelasinya apa dengan tema yang anda angkat. Dan sudah anda bacakah pasal 7 ayat (3)?
Saya lulusan S2 Universitas Pertahanan Fakultas Strategi Pertahanan, agak kurang make sense tentang OMSP yg anda kaitkan dengan tema ini