Sistem pemerintahan demokrasi telah menjadi pilihan para founding father’s ketika merumuskan bentuk negara Indonesia. Sistem pemerintahan demokrasi tersebut dapat kita temui pada UUD 1945 (baik sebelum amandemen maupun setelah dilakukan amandemen). Dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 ditemukan adanya kalimat yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat/Kedaulatan berada di tangan rakyat.” Kalimat tersebut dalam konstitusi jelas merupakan bukti bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut paham demokrasi.
Dalam konteks yang normatif, sistem demokrasi yang tertuang secara tegas dalam UUD 1945 mungkin tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan para ahli tata negara pun, dengan tegas akan mengatakan bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi. Tapi benarkah demikian? Apakah saya, kita dan kalian telah benar merasakan kehidupan demokrasi di negara tercinta ini? Sejak reformasi, siapa yang berani menyatakan bahwa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun adalah Pemerintahan Demokratis?
Demokrasi bukan hanya sebatas formalitas yang tertuang secara tekstual dalam UUD 1945. Demokrasi harus juga tercermin secara meteriil dalam pelaksanaan sistem ketatanegaraan. Menilai demokrasi pada negara ini jelas bukan pekerjaan mudah. Artikel pendek ini pun, mungkin tak kan mampu menjawab seutuhnya mengenai bekerjanya demokrasi di negara ini. Tetapi, mungkin penting untuk sedikit mengurai bagaimana sebenarnya demokrasi yang terjadi di negara ini? Ya, siapa tau dapat menambah wawasan kalian yang membaca tulisan saya yang kurang micin ini.
Demokrasi adalah bentuk pemerosotan. Begitulah yang dikatakan oleh Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh CF. Strong dalam bukunya “Konstitusi-konstitusi Politik Modern.” Kemudian Polybios dalam “Cyclus Theory” mengemukakan bahwa demokrasi merupakan bentuk sistem pemerintahan yang paling akhir kemunculannya setelah monarkhi dan aristokrasi.
BACA JUGA: PERGULATAN POLITIK ALA OLIGARKI
Sialnya, sistem yang disebut sebagai bentuk pemerosotan ini menjadi “primadona” yang memancarkan pesona bagi setiap bangsa untuk meraihnya. Tahun 1950-an sebuah penelitian yang disponsori oleh UNESCO menyimpulkan bahwa demokrasi merupakan sistem terbaik dari semua alternatif sistem politik yang tersedia. Hasil penelitian tersebut telah menempatkan demokrasi sebagai sistem yang mendapat pengakuan sebagai pilihan yang paling tepat dan ideal untuk semua sistem organisasi politik dan kemasyarakatan modern. (Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi).
Indonesia pasca amandeman telah tegas menentukan sistem pemerintahannya adalah demokrasi berdasar atas hukum, silakan lihat Pasal 1 Ayat (2) dan (3) UUD 1945 amandemen. Para ahli tata negara kita, mengibaratkan demokrasi dan hukum bagai dua (2) sisi mata uang. Demokrasi tanpa hukum adalah anarkis, sedangkan hukum tanpa demokrasi adalah otoriter. Karena itu, dalam bekerjanya demokrasi dibutuhkan hukum untuk mengatur agar pelaksanaan demokrasi itu sesuai dengan kehendak rakyat.
Teori memang selalu ideal, tapi kenyataan sering terlalu pahit.
Pelaksanaan demokrasi dalam praktek bernegara berada pada lembaga negara yang dibentuk berdasarkan hukum. Dalam sistem demokrasi dikenal adanya istilah Supra Struktur Politik dan Infra Struktur Politik. Supra struktur Politik adalah lembaga-lembaga negara yang terbagi atas kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Sedangkan Infra Struktur Politik adalah partai politik, ormas, media (cetak maupun digital) dan lain-lain.
Pelembagaan demokrasi dalam bentuk Supra Struktur Politik dan Infra Struktur Politik inilah yang merupakan sumber persoalannya. Bagaimana polarisasi antara cabang-cabang kekuasaan pada supra struktur politik dan dengan entitas infra struktur politik tersebut? Jawabannya sederhana, seperti layaknya orang pacaran, kadang akur kadang ribut. Kadang romantis kadang hambar. Bedanya, kalau orang pacaran dampaknya bikin susah temen-temennya, kalau supra struktur politik dengan entitas infra struktur politik, yang susah rakyatnya.
Demokrasi dalam pandangan hukum berbeda dengan pandangan dalam politik. Dalam politik suara terbanyak adalah suara rakyat, tetapi dalam hukum, suara rakyat adalah hukum tertinggi. Perbedaan pandangan tersebut akan bertemu pada satu persinggungan, di mana lembaga politik yang identik dengan lembaga legislatif dan eksekutif, akan bertemu dengan hukum yang merupakan pelembagaan demokrasi untuk mengatur kekuasaan agar berjalan sesuai dengan hukum. Bertemunya perbedaan tersebut untuk menjadi satu kesatuan yang utuh, yaitu Demokrasi-hukum, yang ternyata menjadi problem utama dari suatu negara untuk menjaga marwah demokrasi.
BACA JUGA: PRESIDENTIAL SEMU
Mengurai bekerjanya sistem demokrasi atas hukum bukanlah hal mudah. Dalam sistem demokrasi di Indonesia, ternyata arus politik lebih kuat dibanding hukum. Hukum yang diidealkan mengatur sistem politik demokrasi, kenyataannya bekerja untuk kepentingan politik. Hasilnya kita bisa lihat bagaiamana produk hukum kita lebih banyak memuat kepentingan kelompok tertentu daripada kepentingan rakyat. Jikalau kepentingan rakyat telah terakomodir, tentu tidak akan ada gejolak dari masyarakat beberapa pekan terakhir ini.
Politik selalu bekerja untuk suatu kepentingan. Dalam konteks kekuasaan, maka politik harus menjamin kekuasaan itu untuk tetap stabil dan aman. Di sinilah terjadi persinggungan antara politik dan hukum. Politik akan menggunakan hukum sebagai alat untuk menjamin bahwa suatu kekuasaan tidak mudah untuk dijatuhkan. Tetapi, tidak dengan hukum. Orang hukum akan menggunakan politik sebagai sarana untuk menjaga kekuasaan tetap pada “rule” nya. Bukan semata-semata stabilitas.
Dalam demokrasi, pergulatan politik dan hukum yang terus bergulat tentu tidak akan membawa kesejahteraan masyarakat. Mereka yang sudah berada pada tampuk kekuasaan negara, mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan dengan menggunakan hukum sebagai alat penjaganya. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Begitulah kata Lord Acton, bukan kata Lord Luhut, ya.
Dalam mempertahankan segala kekuasaannya, atas nama demokrasi, hukum akan memberikan justifikasi bagi bekerjanya sistem politik yang represif. Kebijakan-kebijakan penguasa yang bersifat menguntungkan kelompoknya, akan dijustifikasi oleh hukum sebagai suatu kebijakan yang demokratis. Ketika lahir kritik-kritik pedas dan tajam dari kalangan masyarakat, sistem politik represif yang sudah tercipta akan ‘auto’ bekerja sebagai ‘defensive system’ untuk membungkam para pengkritik, tak peduli kritik-kritik itu lahir dalam diskursus-diskursus ilmiah.
BACA JUGA: SURAT UNTUK PAK PRESIDEN
Defensive system yang bekerja demikian represif itu tak tanggung-tanggung. Teror kepada masyarakat hingga menggunakan lembaga penegak hukum untuk membungkam para pengkritik, akan bekerja mengamankan kekuasaan. Hal itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Bahkan seorang ahli seperti Refly Harun, sampai harus bercuit dalam akun twiiter-nya “Baik (kritik) yang membangun maupun yang menjatuhkan. Bukan yang segera bereaksi untuk menyerang balik, atau membiarkan bawahan atau orang-orang yang mengatasnamakan dirinya menyerang balik.” Cuitan Refly ini sangat menggambarkan situasi saat ini, di mana pengkritik pemerintah justru diserang bahkan dibawa ke ranah hukum. Misalnya, Muhammad Said Didu yang dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Kemudian, wartawan senior Farid Gaban yang dilaporkan ke polisi oleh Muanas Alaidid atas tuduhan telah melakukan penyebaran berita bohong ataupun hoax berkaitan dengan kicauan Farid Gaban, yang mengkritik kerja sama yang dibuat Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki dengan situs jual-beli online, Blibli.com. Ada juga mantan prajurit TNI Angkatan Darat, Ruslan Buton, ditangkap oleh Polri karena dianggap telah melakukan tindakan makar lewat rekaman suaranya yang viral untuk meminta Presiden Jokowi mundur.
Terakhir, teror terhadap Prof Dr Ni’matul Huda SH MHum yang akan memberikan materi dalam sebuah diskusi bertajuk “Meneruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan” di UGM.
Apa yang terjadi pada hari-hari belakangan ini, mungkin akan terjadi lagi dan akan berulang kali terjadi pada hari-hari ke depan. Pelembagaan demokrasi yang dipusatkan pada lembaga negara yang hulunya ada pada partai politik, ternyata hanya menjadikan pelembagaan demokrasi di Indonesia secara formalitas belaka, tetapi oligarkis pada prakteknya. Mungkin inilah yang dibilang oleh Aristoteles, bahwa demokrasi adalah bentuk terburuk dari semua sistem pemerintahan yang pernah ada. Atas nama demokrasi, bahkan para pendukung kekuasaan akan mudahnya mengatakan bahwa kritik terhadap penguasa adalah pencemaran nama baik. Bahkan diskursus-diskursus ilmiah yang bertema Impeachment atau yang menyerempet kekuasaan, akan dituduh sebagai upaya makar terhadap kekuasaan yang sah.
Ya, begitulah demokarsi yang dibangun di Indonesia pasca reformasi. Reformasi yang bercita-cita mewujudkan demokrasi yang berkeadilan serta memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakayat Indonesia, alih-alih, hanya demokrasi untuk penguasa dan kelompoknya. Tak berlebihan, jika muncul slogan “Reformasi dikorupsi.” Demokrasi pasca reformasi bukanlah demokrasi hukum, tetapi demokrasi oligarkis.
Selamat merayakan hari Pancasila.