Sharing dong, kalo istri lagi covid, terus malah di-KDRT, apa yang kalian lakuin?
– Nadia Christina
Jawaban!!!
Kali ini curkum agak beda gaes, mimin off dulu jawab pertanyaan yang masuk ke redaksi, karena mimin gatel mau ikut sharing sama Kak Nadia Christina.
Mimin jawab ini bukan karena mau pansos, tapi beneran mimin tuh, gak tega kalo liat perempuan teraniaya. Ciee ileeeee. Lagian mimin tau banget, KDRT itu gak cuma dialami oleh Kak Nadia, banyak Nadia-Nadia lain yang juga mengalami nasib serupa.
Di masa pandemi gini, KDRT emang meningkat tajam, setidaknya begitu data yang mimin dapatkan dari tempat mimin mengabdi sebagai Konselor Hukum di Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di kota tempat mimin tinggal.
BACA JUGA: KDRT, PILIH CERAI ATAU BERTAHAN
Apalagi di masa PPKM, pasangan suami istri dan keluarga kecil hampir 24 jam bersama. Udah bokek, pusing, stres, anak rewel, bosen di rumah doang, emosi makin meluap-luap. Kumpulan rasa-rasa itu ada yang membuat suami tega memukul istri, orang tua tega menganiaya anak. Yaa gitu deh, pandemi emang menambah beban hidup untuk semua orang.
Btw, apapun alasannya, KDRT gak boleh terjadi. Apalagi kalo kondisi istri sedang sakit, misalnya lagi positif covid. Dalam kondisi sakit, istri pasti butuh suport yang besar dari suaminya. Semarah atau sekesal apapun, sebaiknya suami menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan fisik maupun psikis ke istri. Begitu juga sebaliknya. Semua masalah pasti bisa kok, diselesaikan dengan sharing, ngobrol dan diskusi. Yaaa, semacam musyawarah mufakat gitu.
Masalahnya, memang sifat orang beda-beda, banyak juga manusia yang gak sabaran dan gak bisa ngontrol emosi, sehingga akhirnya terjadi KDRT. Ntah, berupa kekerasan psikis ataupun kekerasan fisik. So, KDRT itu bukan cuma berbentuk kekerasan fisik ya. KDRT juga bisa berbentuk kekerasan verbal, psikis ataupun kekerasan ekonomi.
Lalu, apa yang harus dilakukan ketika seorang istri mendapatkan KDRT? Ya, begitulah pertanyaan Kak Nadia kepada followersnya. Tentunya para followers Kak Nadia memberikan jawaban yang beragam.
Gak perlu aku jelasin, kita semua paham bahwa melakukan kekerasan dalam rumah tangga itu merupakan perbuatan melawan hukum, makanya ada sanksi bagi pelakunya. Nah, hal pertama yang harus dilakukan ketika seorang istri mendapatkan kekerasan, apalagi kekerasan fisik adalah mencari pertolongan pertama dengan intervensi medis.
Simpelnya intervensi medis itu adalah pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama. Meskipun gak parah-parah banget, intervensi medis perlu dilakukan. Selain agar mendapatkan pertolongan secara medis, korban juga bisa mendapatkan bukti, bahwa benar korban mendapatkan kekerasan fisik.
BACA JUGA: 3 CARA MENGHADAPI TOXIC RELATIONSHIP
Lalu gimana kalo kekerasan yang dialami adalah kekerasan psikis?
Agak repot kalo ini, karena pembuktian kekerasan psikis dalam rumah tangga gak semudah pembuktian kekerasan fisik. Pembuktian dalam kekerasan psikis gak terlihat dan tak kasat mata. Makanya, korban harus punya Visum et Psikiatrikum untuk membuktikan telah menjadi korban KDRT psikis.
Nah, intinya sebelum korban KDRT melaporkan si pelaku kepada pihak yang berwajib, siapkan dulu ya bukti-bukti pendukung. Seperti, visum (nanti bisa diambil oleh pak/bu polisi dari hasil rekam medis). Oh ya, jangan lupa juga siapkan saksi, ini juga penting sekali.
Btw, karena KDRT fisik dan psikis merupakan delik aduan, jadi korban cuma punya waktu 6 (enam) bulan yaaa, buat melaporkan si pelaku kepada pihak yang berwajib. Waktu 6 (enam) bulan itu terhitung sejak saat KDRT terjadi. Lebih dari itu maka korban kehilangan haknya untuk memproses secara hukum.
Meskipun UU KDRT sudah secara jelas mengatur tentang perlindungan hukum untuk korban KDRT, tapi secara teknis mungkin belum banyak yang tau. Nah, semoga sharing mimin kali ini bermanfaat ya.