Mungkin kita sudah sering mendengar istilah buzzer, tapi tidak banyak yang mengerti apa dan bagaimana pengaturan mengenai buzzer. Fenomena buzzer semakin berkembang, bahkan menjadi kebutuhan bagi pihak-pihak tertentu untuk mencapai tujuannya.
Istilah buzzer pertama kali dikenal dalam dunia bisnis. Buzzer digunakan para pengusaha untuk memasarkan produk di dunia maya secara masif dan terus menerus. Namun dalam perkembangannya buzzer tidak hanya diperuntukkan dalam dunia bisnis semata, melainkan merambat ke politik termasuk individu/perseorangan, bahkan mengarah ke hal-hal negatif yang dapat meresahkan masyarakat luas.
Buzzer adalah sebuah istilah yang diambil dari kata Buzz yang artinya ‘pembicaraan,’ ‘percakapan,’ atau suara berisik lebah yang bunyinya bzzzz. Bisa dibilang mereka seperti seseorang yang berisik dan bawel layaknya emak-emak kalau lagi ngomel. Bahkan bisa ngalahin emak-emak yang lagi arisan se-RT. Ngeselin gitulah pokoknya.
Mereka biasanya akan menaikan hot issue, mempublikasikan pesan dengan narasi dan hashtag seragam untuk di-trending-kan. Biasanya sih, dipopulerkan melalui media sosial twitter. Tujuannya adalah untuk menggiring opini publik dari suatu isu tertentu, baik itu membuat isu baru atau menghilangkan isu yang beredar di masyarakat.
Kalau dilihat perkembangannya nih ya, kemungkinan keberadaan mereka akan terus ada dan selalu eksis. Secara kita sudah masuk dalam zaman digital. Hari gini, siapa sih, yang gak punya gadget/handphone. Mereka akan terus update mencari informasi terbaru, yang entah darimana mereka mendapatkan informasi itu.
Platform sosial media seperti, twitter jadi media yang cocok untuk mereka. Mereka memanfaatkan trending topic Twitter yang nantinya dapat meluas ke sosial media lain seperti Facebook, Instagram hingga aplikasi pesan seperti Whatsapp. Ala-ala pesan berantai gitu lho. Ya, memang itulah tujuan mereka. Kalau itu terjadi ya, berarti mereka sukses.
BACA JUGA: GILIRAN FERDIAN PALEKA KENA PRANK UU ITE
Umumnya seorang buzzer adalah intelektual, tetapi bersembunyi di balik akun-akun anonym. Buzzer adalah profesi yang dibayar, sehingga mereka kerja dengan tujuan upah/gaji.
Dari hasil penelitian di Oxford University, buzzer mulai marak digunakan di seluruh dunia pada tahun 2019, ada sekitar 70 negara (termasuk Indonesia) yang menggunakan jasa mereka. Buzzer digunakan untuk keperluan politik, propaganda partai politik, mengalihkan suatu isu/ membuat isu baru, menyerang seseorang secara personal, bahkan untuk memecah belah pandangan masyarakat. Di Indonesia pasukan cyber secara umum menggunakan akun bot yang dikelola manusia.
Di Indonesia trend buzzer pertama kali dipopulerkan dalam Pilgub DKI 2012, lanjut Pilpres 2014, Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019. Sampai sekarang mereka masih saja laku, kayak kacang goreng yang nagihin banget. Seperti kasus Bintang Emon yang mengaku diserang buzzer dengan tuduhan pemakaian narkoba karena ia mengkritisi kasus Novel Baswedan yang dituntut jaksa satu tahun.
Dalam prakteknya, buzzer sangat meresahkan sebagian pihak dan masyarakat. Salah satu contohnya seperti munculnya istilah cebong dan kampret. Apakah itu meresahkan? Jelas iyalah, imbasnya adalah memecah belah bangsa kita. Di mana keduanya malah saling menjelekkan dan menjatuhkan, bahkan dalam satu keluarga bisa pecah gegara cebong kampret ini. Tentu hal ini sudah melenceng dari tujuan pertama adanya buzzer, yaitu untuk promosi.
Hingga saat ini masih menjadi perdebatan apakah mereka dapat merusak demokrasi di Indonesia khususnya dalam sebuah pemilu, karena sering dianggap menabrak aturan dan etika dalam demokrasi. Seperti contohnya isu-isu yang disebarkan mereka menyangkut personal dari seseorang, bukan dari sisi profesionalitasnya atau kinerjanya.
Menkominfo Rudiantara mengatakan, “Buzzer Itu nggak ada yang salah, di UU ITE tak dilarang, buzzer itu nggak ada yang salah. Di UU ITE nggak ada buzzer dilarang. Apa bedanya buzzer dengan influencer, buzzer dengan endorser. Itu aja. Kalau dia salah, kalau kontennya melanggar Undang-Undang.”
Ya, memang tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang buzzer. Apabila kita mencerna kata-kata dari Pak Rudiantara ada kata, “Kalau kontennya melanggar Undang-Undang.” Maka dapat diartikan bahwa buzzer tetap dapat melanggar undang – undang (dalam hal ini pidana), apabila memang memenuhi unsur-unsurnya.
Ya, jawabannya adalah UU ITE, dikarenakan lapangan bermain mereka adalah di dunia internet. UU ITE sudah mengatur hal apa saja yang bisa dijerat dengan pidana, yaitu:
“Pasal 27 UU ITE misalnya mengatur tentang kesusilaan, perjudian, penghinaan, dan pemerasan.”
“Pasal 28 UU ITE yang melarang menyebarkan hoax dan berita bohong.”
“Pasal 29 UU ITE tentang pengancaman.”
“Pasal 30 UU ITE tentang akses illegal mengatur pencurian data elektronik dan peretasan data.”
Dikarenakan sampai saat ini buzzer memang belum diatur secara khusus, jadi keberadaan mereka dianggap baik-baik saja, asalkan dalam menyebarkan informasi atau membuat topik yang bahasan tidak memenuhi unsur pasal di dalam UU ITE. Gampangnya asal konten yang mereka buat tidak melanggar UU ITE seperti, hoax, berita bohong, kesusilaan, atau pengancaman.
Saat ini yang menjadi fokus dari penertiban buzzer ini hanyalah pada kontennya semata. Pemerintah melalui Menkominfo hanya akan memonitor terkait konten yang dibuat oleh buzzer dengan parameter beberapa pasal di UU ITE. Padahal kalau kita lihat dari hari ke hari, semakin banyak konten yang dibuat dan disebarkan oleh buzzer yang akhirnya membuat gaduh di media sosial. Namun konten tersebut tidak tercakup dalam UU ITE dan sulit dibuktikan dengan UU ITE.
Menurut saya, perilaku mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perlu adanya regulasi yang mengatur khusus tentang buzzer, tidak cukup hanya dengan UU ITE saja, karena tidak spesifik dan cakupannya sangatlah terbatas, selain itu agar ke depannya tidak telat dan kesulitan dalam mengontrol buzzerr yang semakin banyak dan melenceng ke arah negatif. Cuma kayanya pemerintah gak niat buat regulasi khusus tentang buzzer, karena pihak pemerintah pun saat ini memiliki pasukan buzzer demi menjalankan kepentingannya. Tentunya pemerintah juga tidak mau kesulitan dalam melangkah karena regulasinya sendiri kan? Karena buzzer pemerintah juga tidak selalu positif. Ya kan?