Tahu nggak sih, di balik jubah hitam dan palu sidang yang berwibawa, hakim di Indonesia ternyata tak hanya bergulat dengan pasal-pasal hukum, namun juga bergulat dengan komentar pedas netizen. Yup, di era digital ini, hakim tak hanya menjadi penegak hukum di ruang sidang, tapi juga menjadi ‘terdakwa’ di pengadilan media sosial.
“Ini tangan iblis bukan tangan Tuhan,” komentar sebuah akun bernama @Yoonjie di aplikasi X terhadap postingan akun @dhemit_is_back yang menampilkan berita Ronald Tannur, putra dari Edward Tannur (mantan anggota komisi IV DPR RI dari Fraksi PKB), yang bebas dari jerat hukum atas tindakannya yang diduga melakukan penganiayaan hingga mengakibatkan kematian terhadap Dini Sera Afriyanti, yang pada saat itu merupakan kekasihnya.
Putusan Bebas Ronald Tannur
Berdasarkan putusan Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby yang kakak penulis baca, menyatakan bahwa seluruh unsur dalam dakwaan penuntut umum terhadap Ronald Tannur tidak terpenuhi, sehingga majelis hakim pun berpendapat bahwa Ronald Tannur tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana terhadap seluruh dakwaan penuntut umum.
Waduh, didaw, duarrr, tidak bisa berkata-kata lagi kaks penulis.
Karena ada banyak kejanggalan terhadap bebasnya Ronald Tannur, kasus ini pun akhirnya dibawa keluarga Dini ke Komisi III DPR, yang pada intinya menduga adanya pelanggaran yang dilakukan hakim dalam menangani perkara tersebut.
Nah, apabila benar terbukti bahwa hakim yang menangani perkara tersebut melakukan pelanggaran, kira-kira sanksi apa yang dapat dikenakan?
Sanksi Terhadap Pelanggaran Kode Etik
Setiap hakim wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim. Keduanya mengatur bahwa hakim yang menangani perkara harus bersikap adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati serta bersikap profesional.
Sesuai Pasal 22D Ayat (2) UU tentang Komisi Yudisial, sanksi yang dikenakan terhadap hakim yang melakukan pelanggaran kode etik sebagai berikut.
Sanksi ringan terdiri atas:
- teguran lisan;
- teguran tertulis; atau
- pernyataan tidak puas secara tertulis.
Sanksi sedang terdiri atas:
- penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun;
- penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun;
- penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu ) tahun; atau
- hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan.
Sanksi berat terdiri atas:
- pembebasan dari jabatan struktural;
- hakim non palu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun;
- pemberhentian sementara;
- pemberhentian tetap dengan hak pensiun; atau
- pemberhentian tetap tidak dengan hormat.
BACA JUGA: HAKIM SIDANG TIDAK TEPAT WAKTU, SALAHKAH DI MATA HUKUM?
Siapa sih, yang berwenang menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim? Jawabannya adalah Komisi Yudisial (KY).
Nah, apabila dalam hal dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim dinyatakan terbukti, maka KY akan mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung. Kalau ternyata sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi pemberhentian tetap, maka diusulkan KY kepada Majelis Kehormatan Hakim.
Sanksi Pidana
Sanksi pidana bisa juga loh, dijatuhkan kepada hakim apabila dalam menangani perkara, hakim tersebut menerima suap atau gratifikasi yang mempengaruhi putusannya.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 11, 12 dan Pasal 12B UU Tipikor yang menghukum pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi. Hukuman pidananya nggak tanggung-tanggung, bisa berupa penjara minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 20 tahun, bahkan bisa seumur hidup loh. Dyarrrrrrr!!!!!
So, begitulah sanksi pidana bagi hakim yang melakukan pelanggaran. Kita tentu berharap bahwa gelar seorang hakim sebagai wakil Tuhan di dunia ini, tercermin dari setiap tindakan dan putusan yang diberikan. Semoga penegakan hukum di negara kita dapat berjalan adil dan transparan. Merdeka !!!