Menahan sesuatu itu faktanya berat, salah satunya menahan rasa haus dan lapar saat puasa. Jadi tak jarang ada sejumlah orang bertipu muslihat, acting pura-pura lemas saat pulang ke rumah, biar dikira dia sedang berpuasa. Tapi apakah ini merupakan tindakan kejahatan yang dapat dipidana?
Trik berpura-pura lemas saat pulang ke rumah biasanya dilakukan oleh para pelajar ketika ada kegiatan sekolah di bulan Ramadhan. Tapi berhubung tahun ini kegiatan belajarnya masih secara online, jadi mungkin trik ini agak jarang dilakukan para pelajar di Indonesia.
Rupanya selain pelajar, para kaum pekerja pun masih ada yang menggunakan trik berpura-pura lemas saat pulang ke rumahnya sehabis kerja. Walau faktanya di siang tadi mereka habis makan dengan lahapnya menyantap sepiring nasi beserta lauk pauk mungkin ayam, lele atau telor dadar.
Demi terlihat mereka muslim yang khusyuk, pas sampe di rumah mereka mendadak jadi actor. Berpura-pura lemas dan ketika ditanya oleh orang rumah, dengan lemas pula mereka menjawab “Alhamdulillah, saya masih puasa.”
Nah, apakah ‘tindakan’ demikian termasuk kejahatan kepada orang terdekat? Karena telah melakukan serangkaian kata bohong, plus action yang meyakinkan bahwa dia sedang berpuasa.
Menurut saya, secara tegas tindakan mereka secara aturan hukum tidak salah, tidak masuk dalam kategori kejahatan atau pelanggaran dan juga tidak dapat dipidana. Tapi ini pendapat saya dalam kacamata hukum normatif ya pren, bukan hukum agama. Jika hukum agama jelas tindakan mereka minimal berdosa.
Tapi apakah mereka tidak bisa dikenakan Pasal 378 KUHP? Mari pren, kita kaji dulu, apakah Pasal 378 KUHP bisa menjerat orang yang berpura-pura puasa.
Pasal 378 KUHP berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Mungkin adanya kata ‘tipu muslihat’ ataupun rangkaian kata kebohongan bisa diperdebatkan untuk menjerat orang yang berpura-pura puasa. Tapi coba deh, simak lebih lanjut unsur lainnya. Yaitu, harus terpenuhinya juga tergeraknya orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
Jadi jika hanya serangkaian tipu muslihat saja, pendapat saya belum bisa dong, tindakan berpura-pura puasa tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan karena unsurnya tidak terpenuhi.
Beda cerita jika ada orang yang mengaku berpura-pura puasa kepada orang lain, terus melihat orang itu berpuasa kemudian dikasihlah dia mobil, karena melihat keseriusan orang tersebut melakukan ibadah puasa, padahal faktanya tidak. Bisa tuh pren, tindakan tersebut masuk kategori penipuan.
Tapi tetap harus dibuktikan bahwa orang itu puasanya berpura-pura yah. Selain minimal dua orang saksi, harus juga dibuktikan dengan alat bukti petunjuk misalnya rekaman cctv sewaktu yang bersangkutan makan ditempat makan.
Jadi clear kan pren, soal Pasal 378 KUHP itu.
Oiya, kalo dengan Pasal 378 tentang penipuan tidak bisa memidana orang yang berpura-pura puasa, lalu apakah orang tersebut bisa dijerat dengan pasal tentang memberikan keterangan palsu?
Oke pren, kita ulas lagi pasal selanjutnya mengenai memberikan keterangan palsu/bohong, dalam KUHP Tindakan tentang memberikan keterangan bohong diatur secara jelas di Pasal 242 Ayat (1) KUHP, yang ketika kalian baca lebih lanjut bunyinya:
“Barang siapa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Gimana pren, sudah jelas belum? Prinsip pasal ini juga tidak bisa menjerat kepada orang yang berpura-pura puasa ya. Oke deh, memberikan keterangan palsunya terpenuhi. Tapi pada saat memberikan keterangan palsu tentang puasanya kan ia tidak di atas sumpah dan yang lebih penting intinya dia tidak dalam keadaan dimana undang-undang memerintahkannya.
Contoh jelasnya dia tidak dalam memberikan keterangan kesaksian di persidangan. Walaupun nih, misal dalam suatu peristiwa sidang hakim tanya ke saksi, “Apakah saudara saksi hari ini berpuasa?” terus saksi tersebut menjawab, “Saya berpuasa Yang Mulia Majelis Hakim.” Walaupun faktanya berpura-pura, dia jugatidak bisa dipidana loh pren.
Karena yang dimaksud oleh pasal ini keterangan bohong tentang inti dari peristiwa yang disidangkan, bukan kebohongan dia berpuasa atau tidak.
Jadi pada prinsipnya antara Pasal 378 KUHP dan Pasal 242 Ayat (1) KUHP belum bisa menjerat pelaku orang yang berpura-pura puasa yaks pren. Kembali ke basic beragama, puasa adalah wujud ketaatan umat kepada Tuhannya. Jadi ngapain coba jika faktanya tidak berpuasa harus berbohong mengaku puasa, supaya dapat takjil gratisss yah pren.