Pada tau ga, ada kisah menarik yang terjadi di Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Pasca peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menimpa hutan-hutan di pulau Sumatera pada 2019 silam, penduduk Kecamatan Cengal berbondong-bondong mendatangi bekas lahan yang terbakar untuk berburu emas. Terdengarnya norak dan ikut-ikutan, emang sih. Tapi seenggaknya mereka mau kerja keras cari emas, ha piye? Emas, je. Emangnya kamu yang cuma jadi kaum rebahan di kamar doang *eh.
Selidik punya selidik, ternyata kegiatan berburu emas ini gak cuma terjadi di tahun 2019 kemarin. Kalau saya baca di CNBC Indonesia, dari tahun 2005 warga di daerah sana sudah rutin berburu emas. Penyebabnya karena waktu itu ada warga yang menemukan perhiasan berupa cincin emas di halaman rumahnya, sewaktu warga tersebut lagi nyangkul tanah. Setelah diteliti, ternyata perhiasan cincin emas itu merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Iya, beneran peninggalan Kerajaan Sriwijaya, bukan peninggalan Keraton Agung Sejagat, apalagi Sunda Empire. Sejak moment itulah perburuan emas oleh warga marak terjadi.
Pihak pemerintah gak diem-diem bae. Pada tahun 2018 kemarin, Tim Cagar Budaya Kabupaten OKI kabarnya sudah datang ke lokasi, dan mereka meminta warga yang memburu emas untuk mendaftarkan setiap temuan di lokasi, terutama yang punya nilai sejarah. Cuma ya itu, nilai ekonomi yang tinggi kayaknya sih bikin warga ogah ngelaporin temuannya. Padahal menurut bu Retno Purwanti, selaku arkeolog Badan Arkeologi Sumatera Selatan, tindakan warga akan menyulitkan peneliti untuk merangkai sejarah masa lampau di kawasan pesisir. Sungguh akademis sekali penjelasan Ibu ini.
Ada yang menarik ketika membahas emas temuan warga dengan mengelaborasikan tentang sejarah dan aturan cagar budaya. Apa sih hubungannya berburu emas, sama merangkai sejarah masa lalu? Jadi gini, emas-emas yang ditemukan para warga pemburu emas itu kan kebanyakan berasal dari masa Kerajaan Sriwijaya. Nah, emas-emas itu bisa saja merupakan benda cagar budaya yang bisa jadi sumber sejarah untuk menjelaskan peristiwa masa lalu, terutama terkait dengan eksistensi Kerajaan Sriwijaya di tanah wong kito galo.
BACA JUGA: PENYAMARAN RAJA YANG TERBONGKAR
Selanjutnya baru kita bahas nih, apa itu benda cagar budaya? Kalau kita baca ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya,
“benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia”.
Sebenarnya benda cagar budaya sendiri hanyalah salah satu bagian dari cagar budaya. Masih ada yang lainnya yang masuk dari konsensi UU Cagar Budaya, di antaranya bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya yang semuanya diatur di UU Cagar Budaya. Tapi penjelasan lanjutannya kapan-kapan aja gaes, capek dan takut ntar banyak cewe-cewe auto ngefans sama saya. Lhaa wong cagar budaya aja saya perhatiin, apalagi kamu, iyaa kamu.
Sebenarnya apa sih kriteria suatu benda bisa disebut sebagai benda cagar budaya? Soalnya ini emas, loh. Satu gram emas saja sekarang harganya tujuh ratus ribuan. Kan, lumayan kalau dijual. Atau kalau gak dijadiin investasi, deh.
Nah, untuk kriteria benda cagar budaya sebenarnya sudah diatur di Pasal 5 UU Cagar Budaya. Ada empat kriterianya, yaitu:
- berusia 50 tahun atau lebih;
- mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun atau lebih;
- memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
- memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Perlu diingat bahwa keempat kriteria tersebut sifatnya kumulatif ya gaes. Artinya, empat kriteria tersebut harus terpenuhi semua. Kalo satu tidak terpenuhi, maka suatu benda tidak bisa dikatakan sebagai benda cagar budaya. Contoh nih, foto selfie kamu di Instagram dengan pose dan filter nggatheli itu. Kalau sekarang, sih, gak akan mungkin masuk kriteria benda cagar budaya. Ya ngapain? Kamu siapa he? Umur fotomu udah lebih dari lima puluh tahun poh? Dan apakah foto itu memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa?
BACA JUGA: KEDAULATAN NEGARA ATAS ZEE
Lanjut ke kasusistik soal emas peninggalan kerajaan Sriwijaya tadi ya, sebenarnya para pemburu emas itu sudah dikasih jaminan sama undang-undang, kalo mereka akan dapat kompensasi dari pemerintah jika menyerahkan hasil temuannya. Cuma ya itu, mereka dihadapkan masalah klasik, tau sendirikan, kalo berurusan dengan pemerintah itu butuh waktu lama untuk menunggu. Hasil temuan harus didaftarkan dulu ke pemerintah khususon yang ngurusin cagar budaya, habis itu dikaji sama tim pemerintah, memenuhi kriteria sebagai cagar budaya atau ngga, lalu kalo memenuhi akan dilakukan penetapan. Kalau gak? Kayaknya sih cuma dikembalikan ke yang ngelaporin. Kayaknya, lho. Kalo faktanya belum tau juga gaes.
Sebenarnya kalo cuma nunggu penetapannya sih enak. Ada batas waktu yang jelas, yaitu paling lama tiga puluh hari setelah rekomendasi dari tim yang bikin kajian soal cagar budaya diterima pemerintah. Lha, nunggu kajiannya itu yang gak enak, karena gak ada batas waktunya. Ibaratnya sudah lapar sekarang, tapi makannya disuruh nunggu kepastian jawaban dari gebetan kamu. Ribet to?
Terus apa dong yang harus dilakukan sama pemburu emas itu? Kan emas temuan mereka bisa dibilang potensial sebagai benda cagar budaya? Ya, kalau mereka gak mau kenapa-kenapa, sih, idealnya mereka harus ngelaporin ke pemerintah. Ini wajib, soalnya. Diatur di Pasal 23 Ayat (1) UU Cagar Budaya. Kalau sengaja gak mau lapor, ada ancaman pidananya di Pasal 102 UU Cagar Budaya. Ancamannya pun gak main-main, yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Oh ya, saya uda cari-cari, kayaknya belum ada putusan pidana yang dijatuhkan dengan Pasal 102 UU Cagar Budaya. Kayaknya, lho. Jadi kalo mau tercatat dalam sejarah sebagai orang pertama yang dipidana pakai pasal itu, silakan. Kayaknya asyik aja gitu *eh.