Djoko Tjandra akhirnya ditangkap oleh Pak Polisi. Penangkapan buron kasus pengalihan Cessie Bank Bali tersebut mendapat apresiasi banyak pihak. Pak Mahfud Md, misalnya. Sambil bersyukur, beliau mengajak kita semua untuk mengawasi proses selanjutnya terhadap Djoko Tjandra, karena menurut beliau (ehem) pemerintah tidak bisa mengintervensi kasus Djoko Tjandra.
“Sekarang pelototi proses peradilan di MA,” kata Pak Mahfud Md.
Oke, perkara Pak Djoko Tjandra mau diapain nantinya, itu dipikir nantilah. Soalnya ada yang lebih seru, nih. Belum lama ini, pakar hukum tata negara, Irmanputra Sidin, di feed Instagramnya yang sudah centang biru itu menjelaskan bahwa eksekusi pidana terhadap Djoko Tjandra itu konstitusional. Lho, kok bisa begitu? Nah, kita harus tahu dulu kronologi Pak Djoko Tjandra itu bisa jadi buron. Dengan memahami kronologi, maka kita baru bisa memahami opini Mas Irmanputra Sidin.
Oke, lanjut. Cerita bermula ketika Pak Djoko Tjandra sebagai terdakwa dinyatakan lepas (onslag van recchtsverfolging) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 28 Agustus 2010. Putusan tersebut diperkuat dengan ditolaknya kasasi yang diajukan oleh penuntut umum melalui Putusan MA Nomor 1688K/Pid/2000 pada tanggal 28 Juni 2001. Tahun segitu saya kayaknya masih duduk di bangku TK, deh.
Berdasar putusan di tingkat kasasi, seharusnya Pak Djoko Tjandra udah bisa hidup tenang di rumah bersama istri dan keluarga tercinta. Eh, ternyata penuntut umum kayaknya gak ikhlas kalau Pak Djoko Tjandra hidup tenang. Maka dilakukanlah Peninjauan Kembali alias PK terhadap Putusan MA Nomor 1688K/Pid/2000, yang berakhir dengan Putusan MA Nomor 12/PK/Pid.Sus/2009 di mana Pak Djoko Tjandra dinyatakan terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman 2 (dua) tahun penjara.
BACA JUGA: UUPS, SALAH TANGKAP
Nah, Mas Irmanputra Sidin ini berpendapat bahwa karena sudah ada Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa PK hanya dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya, maka Putusan MA Nomor 12/PK/Pid.Sus/2009 tersebut inkonstitusional dan tidak bisa dieksekusi. Di sinilah menariknya. Apa benar putusan yang dipandang inkonstitusional karena adanya putusan MK tersebut serta merta jadi tidak berlaku?
Pertama, mari kita bahas soal kewenangan mengajukan PK. Dalam Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memang disebutkan secara jelas bahwa yang dapat mengajukan PK hanyalah pihak terpidana atau ahli waris dari terpidana. Masalahnya adalah pada saat penuntut umum mengajukan PK terhadap Pak Djoko Tjandra, tidak ada larangan yang tertulis dalam KUHAP.
Nah, karena tidak ada larangan yang tertulis itulah akhirnya istri Pak Djoko Tjandra mengajukan judicial review terhadap Pasal 263 Ayat (1) KUHAP untuk meminta penafsiran dari hakim MK. Eh, ternyata MK memutuskan bahwa PK memang hanya bisa diajukan oleh terpidana atau ahli waris dari terpidana.
“Lho? Jadi bener, dong, opini Mas Irmanputra Sidin kalau Djoko Tjandra gak bisa dieksekusi? Dasar, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.
Dibayar berapa sih, sama Djoko Tjandra?”
Sabar dulu mas. Belum selesai. Gak baik marah-marah mulu.
Pertanyaan utama dalam opini Mas Irmanputra Sidin itu adalah, memangnya putusan MK itu bisa membatalkan putusan PK?
Kenapa saya menanyakan hal tersebut? Karena berdasar Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, putusan MK tersebut bersifat final and binding, alias tidak mungkin ada upaya hukum terhadap putusan yang dikeluarkan oleh MK. Masalahnya adalah apakah putusan MK tersebut bisa memengaruhi putusan PK sebagaimana kasusnya Djoko Tjandra? Lalu, apakah Pak Djoko Tjandra bisa bebas dari eksekusi pidana? Hoho, saya rasa tidak semudah itu, Ferguso.
Pertama, perlu diingat bahwa hukum pidana menganut asas legalitas dan sangat menentang asas retroaktif alias ketentuan berlaku surut. Dengan kata lain, Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 tidak memengaruhi Putusan MA Nomor 12/PK/Pid.Sus/2009.
Putusan MK tersebut hanya berpengaruh terhadap Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, bukan Putusan PK terhadap Pak Djoko Tjandra. Makanya, kalau Pak Djoko Tjandra gak mau dipidana, ya Pak Djoko Tjandra harus mengajukan PK lagi, bukan berharap Putusan MK bisa serta merta membuat Pak Djoko Tjandra gak dieksekusi.
BACA JUGA: PEMULANGAN BURON DI LUAR NEGERI (DJOKO CHANDRA)
Kedua, memang benar bahwa Pak Djoko Tjandra bisa mengajukan PK lebih dari sekali karena MK sudah mencabut ketentuan yang mengatur bahwa PK hanya bisa diajukan sekali berdasar Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013. Nah, untuk mengajukan PK, dasar yang dapat dipakai berdasar Pasal 263 Ayat (2) KUHAP adalah adanya bukti baru (novum) yang baru diketahui, adanya kekhilafan hakim, putusan pidana dan alasan putusan ternyata bertentangan satu sama lain, atau terdakwa dijatuhi putusan pidana tetapi tidak diikuti eksekusi pidana.
Putusan MK jelas tidak dapat dijadikan sebagai novum karena novum yang dimaksud dalam KUHAP adalah bukti yang sudah ada jauh sebelum putusan pidana dijatuhkan terhadap terdakwa, tetapi baru diketahui setelah terdakwa dijatuhi putusan pidana. Kekhilafan hakim? Menurut saya sih, gak bisa. Toh, yang khilaf mengajukan PK yang diputus dengan Putusan MA Nomor 12/PK/Pid.Sus/2009 itu penuntut umum, bukan hakim. Ingat, berdasar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, PK diajukan terhadap putusan yang bersifat inkracht. Artinya cuma bisa diajukan terhadap putusan kasasi atau putusan di bawah tingkat kasasi yang sudah berkekuatan hukum tetap.
“Kalau pakai putusan pidana dan alasan putusan bertentangan satu sama lain, gimana?”
Saya rasa juga gak bisa, toh dari putusan di PN Jakarta Selatan sampai kasasi di MA juga Pak Djoko Tjandra divonisnya lepas, kok. Kalau mengajukan PK pakai alasan itu, malah Pak Djoko Tjandra menyalahkan putusan bebas dan kasasi terhadap dia, dong? Yang paling mungkin ya, pakai alasan putusan pidana berdasar PK tidak disertai eksekusi (karena Pak Djoko Tjandra buron).
Yang jelas, selama putusan PK tidak dicabut MA, Pak Djoko Tjandra tetap harus dieksekusi. Kalau mau gak dieksekusi ya, ajukanlah PK. Jangan lupa berdoa ya pak, semoga hakim MA mau mengabulkan PK terbarunya. Muehehehehehe.