Pernah nggak, kamu terjebak dalam perjanjian yang merugikan? Pengen udahan sih, tapi ngebatalin perjanjian nggak segampang mutusin pacar, sob! Ada aturan mainnya. Nah, artikel kali ini, kita bakal bahas cara membatalkan perjanjian. So, let’s dive into it!
Terjebak dalam perjanjian yang nggak menguntungkan, bisa bikin frustasi. Ya, nggak sih? Terkadang situasi dapat berubah dan salah satu pihak mungkin ingin membatalkan perjanjian yang sudah dibuat.
Dalam hukum perdata Indonesia, ada beberapa cara untuk membatalkan perjanjian, tergantung pada kondisi dan keadaan tertentu.
Menurut Salim HS, perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan.
Sebelum masuk ke cara membatalkan perjanjian, kita harus tahu nih, syarat sah perjanjian. Ada 4 (empat) syarat sah perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut.
BACA JUGA: “MENCOBA BERARTI MEMBELI” MERUPAKAN PERJANJIAN SEPIHAK DARI PELAKU USAHA
- Adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena ‘kehendak’ itu nggak bisa dilihat/diketahui orang lain.
- Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata, kedua belah pihak harus cakap (berwenang) menurut hukum atau telah berusia 21 tahun atau telah menikah dan bukan di bawah pengampuan.
- Adanya suatu hal tertentu atau objek perjanjian. Maksudnya, yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau minimal dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUHPerdata). Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok- pokok perjanjian.
- Adanya sebab yang halal. Isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Oh iya, konsekuensi jika tidak terpenuhi syarat sah perjanjian adalah perjanjian menjadi tidak sah dan perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sob!
Kapan perjanjian menjadi tidak sah?
Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Misal, perjanjian itu lahir karena adanya cacat kehendak, seperti kekhilafan, paksaan, penipuan atau karena ketidakcakapan pihak dalam perjanjian. Maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Sementara itu, kalau syarat objektif nggak terpenuhi, misalnya mempunyai causa yang tidak diperbolehkan seperti bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig). Gampangnya perjanjian itu dari awal dianggap tidak pernah ada.
Bagaimana dengan pembatalan perjanjian?
Pembatalan perjanjian diakui dan diatur dalam Pasal 1446-1456 KUHPerdata. Intinya perjanjian bisa dibatalkan kalau memenuhi syarat pembatalan yang sudah ditentukan.
Salah satu syarat pembatalan suatu perjanjian adalah adanya wanprestasi (tidak memenuhi kewajiban). Dimana wanprestasi sebagai salah satu syarat dalam pembatalan suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan pembatalan perjanjian.
BACA JUGA: CURKUM #155 APAKAH KUITANSI JUGA BERLAKU SEBAGAI PERJANJIAN?
Nah, pembatalan perjanjian harus dilakukan melalui pengadilan. Sehingga yang membatalkan perjanjian adalah putusan hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata.
Perjanjian yang dapat dibatalkan di pengadilan adalah harus bersifat timbal-balik, yaitu perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.
Lanjut, akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah akan menghapuskan perikatan dan pengembalian pada posisi semula seolah-olah tidak ada suatu perjanjian seperti diatur di Pasal 1265 KUHPerdata.
Pembatalan perjanjian dapat dilakukan di pengadilan tempat perjanjian tersebut dibuat atau berdasarkan kesepakatan domisili hukum yang dipilih para pihak dalam perjanjian tersebut.
Fyi, buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan menganut asas keterbukaan dan kebebasan berkontrak, sehingga dapat dikesampingkan. Jadi para pihak bisa membuat kesepakatan mengenai klausul tata cara pembatalan perjanjian dalam perjanjian tersebut serta mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata. Ya, intinya sih, pembatalan perjanjian selain melalui pengadilan, juga bisa melalui cara yang disepakati para pihak dan dimasukkan dalam klausul perjanjian yang dibuat.
Sekian tulisan kali ini. Semoga bermanfaat. Terima kasih!