Saya suka heran deh, kalo nonton film atau sinetron azab yang menggambarkan orang kaya raya, punya perusahaan besar, eh tiba-tiba jadi gembel karena perusahaannya bangkrut. Biasanya sinetron tersebut menggambarkan semua harta si tokoh akan habis disita dan dilelang untuk membayar hutang perusahaannya.
Cerita di sinetron tersebut kadang diamini oleh penonton, sehingga muncul persepsi bahwa jika ada perusahaan bangkrut, otomatis harta pemilik perusahaan atau pemegang sahamnya juga akan disita untuk membayar semua hutang perusahaan. Benarkah begitu?
Harusnya sih, gak gitu ya. Karena gak semua perusahaan bangkrut itu membuat miskin si pemilik perusahaannya. Semua tergantung konsep badan usahanya.
Secara umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, badan usaha dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu, badan usaha berbadan hukum dan badan usaha tidak berbadan hukum.
Badan usaha berbadan hukum antara lain yaitu, perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Adapun badan usaha tidak berbadan hukum antara lain, usaha perseorangan, persekutuan perdata (maatschap), firma, persekutuan komanditer (CV).
Saya yakin masih banyak orang yang bingung dengan konsep badan usaha yang berbadan hukum dengan badan usaha tidak badan hukum. Bahkan saya pernah berdebat dengan seorang teman yang bergelar sarjana hukum, karena blio ngotot banget bilang, “CV adalah badan hukum.” Teman saya keukeh berpendapat begitu, alasannya karena CV juga disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Memang sih, sejak tanggal 1 Agustus 2018, pemerintah memberlakukan Perkumham No. 17 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Persekutuan Perdata melalui Sistem Administrasi Badan Usaha (SABU) pada Direktorat Administrasi Hukum Umum (AHU). Eh, tapi hal ini gak serta merta merubah karakteristik badan usaha ya.
BACA JUGA: CURKUM #9 JENIS USAHA SESUAI HUKUM
Ada beberapa perbedaan dasar tentang badan usaha berbentuk badan hukum dan badan usaha tidak berbentuk badan hukum. Cekidot yaa.
Subjek Hukum
Sejak disahkan, maka badan usaha berbadan hukum menjadi subjek hukum untuk dirinya sendiri. Oleh karenanya dalam melakukan perbuatannya, badan usaha berbadan hukum diwakilkan oleh pengurus/direksi yang ditunjuk sesuai dengan akta pendirian/anggaran dasar.
Sedangkan, subyek hukum dalam badan usaha tidak berbadan hukum melekat pada pendiri atau pengurusnya, dengan demikian badan usaha tersebut bukan merupakan subyek hukum yang berdiri sendiri di luar pendiri/pengurus. Dalam melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga, badan usaha tidak berbadan hukum diwakilkan oleh pendiri yang sekaligus juga bertindak sebagai pengurus.
Oh ya, karena merupakan subjek hukum, maka badan usaha berbadan hukum ini punya hak dan kewajiban, jadi kalo ada pihak ketiga yang dirugikan oleh perusahaan, maka perusahaannya (badan usaha) yang digugat, bukan pendiri/pengurusnya. Contohnya gini, Tejo punya badan usaha/perusahaan berbentuk PT, maka apabila ada pihak ketiga yang dirugikan oleh perusahaan/PT si Tejo, yang digugat ya perusahaan/PTnya, bukan si Tejo secara pribadi.
Sebaliknya, badan usaha tidak berbadan hukum tidak punya hak dan kewajiban apa-apa. Jadi kalo ada pihak ketiga yang dirugikan oleh perusahaan (badan usaha), maka pihak ketiga tersebut hanya dapat menuntut pendiri/atau pengurusnya, bukan badan usahanya.
Contohnya gini, Tejo punya badan usaha/perusahaan berbentuk CV, maka apabila ada pihak ketiga yang dirugikan oleh perusahaan/CV si Tejo, yang digugat adalah si Tejo-nya, bukan perusahaan/CV milik Tejo.
Pemisahan Harta
Perbedaan lainnya dapat kita lihat terkait pemisahan hartanya. Badan usaha yang berbadan hukum merupakan suatu badan usaha yang memisahkan antara harta kekayaan pribadi pemilik/pendirinya dengan harta kekayaan badan usaha.
BACA JUGA: APA SALAHNYA BIN BERADA DI BAWAH PRESIDEN?
Keuntungan apabila badan usaha memisahkan harta kekayaan pribadi pemilik/pendirinya dengan harta kekayaan badan usaha yaitu, apabila terjadi suatu permasalahan hukum, maka badan usaha hanya dapat dituntut atau dimintakan ganti kerugian hanya sebatas harta kekayaan badan usaha tersebut,dan tidak masuk sampai ke harta pribadi pemilik/pendirinya.
Contohnya gini, misalnya si Tejo mendirikan sebuah badan usaha/perusahaan berbentuk PT dengan modal senilai Rp2 milyar, lalu tak disangka perusahaan yang didirikan Tejo bangkrut. Nah, karena Tejo menggunakan PT, yaitu perusahaan berbadan hukum, maka kerugian yang dialami si Tejo hanya sebatas uang yang telah diinvestasikan Tejo di perusahaan tersebut. Pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh perusahaan milik Tejo, tidak bisa menuntut dan menyita harta pribadi Tejo.
Sebaliknya nih, badan usaha yang tidak berbadan hukum merupakan suatu badan usaha yang tidak memiliki pemisahan yang tegas antara harta kekayaan pribadi pemilik/pendirinya dan harta kekayaan badan usaha.
Menurut hukum, apabila badan usaha tidak memisahkan harta kekayaan pribadi pemilik/pendirinya dengan harta kekayaan badan usaha, apabila terjadi suatu permasalahan hukum, maka ganti kerugian dapat dimintakan terhadap harta kekayaan badan usaha itu sendiri, juga termasuk harta pribadi pemilik/pendirinya.
Contohnya gini, Tejo mendirikan sebuah perusahaan berbentuk CV. Lalu perusahaan tersebut bangkrut dan menanggung banyak hutang. Karena harta kekayaan perusahan tidak cukup untuk mengcover ganti rugi terhadap pihak ketiga (pihak yang dirugikan), maka pihak ketiga dapat meminta ganti rugi sampai harta pribadi milik si Tejo.
Kalo dilihat dari bentuk pertanggungjawabannya, sudah pasti perusahaan berbentuk badan hukum jauh lebih aman dan menguntungkan. Tapi masih banyak kok, pengusaha yang memilih badan usaha seperti CV, Firma atau Persekutuan Perdata , salah satu alasanya karena keterbatasan modal. Modal menjadi kendala karena beberapa undang-undang mengatur secara limitatif jumlah modal (dana) yang harus disiapkan untuk mendirikan badan hukum.
So, mau pake badan usaha berbadan hukum atau tidak berbadan hukum? Silakan dipilih sesuai kebutuhan dan skala usahanya.