Belum lama ini, saya diomelin salah seorang teman yang sekarang bermukim di Jakarta. Gara-garanya sih sepele, saya cuma iseng bilang di story Instagram saya, mbok ya Jakarta lockdown aja sampai wabah virus Covid-19 alias corona reda. Mungkin sebagai warga Jakarta, teman saya merasa perlu mengomeli saya. “Nek lockdown ya matamu wae”, maki kawan saya tadi.
Gak cuma saya yang bikin story lockdown, di medsos juga banyak netizen lain yang pengen Indonesia lockdown. Kalo saya cuma iseng, gak tau kalo mereka minta lockdown karena apa.
Soal wacana lockdown ini emang menarik buat dibahas, apalagi Jakarta yang banyak diminta buat segera lockdown. Wajar sih, mengingat penderita terbanyak ya dari sono. Cuma Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira dalam detik finance menyampaikan jika Jakarta saja yang lockdown, maka Indonesia bisa kena krisis ekonomi. Soalnya uang di Indonesia ini kan 70% muternya di Jakarta doang.
Bhima nambahin, beliau khawatir kalo misal lockdown di Jakarta terjadi, maka akan ada kelangkaan barang karena barang gak bisa masuk Jakarta, dan itu bisa memengaruhi inflasi mengingat Jakarta menyumbang 20% inflasi di Indonesia. Emang ya Jakarta ini, udah uang satu negara mayoritas muter di sono, nyumbang inflasinya gede banget pula. Kagum saya.
Pendapat beliau ini emang cukup masuk akal. Terlebih sebenarnya secara regulasi, lockdown itu masih gak jelas. Ya gimana mau jelas? Cuma ada UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang mengatur soal lockdown. Peraturan Pemerintah alias PP yang diamanatkan Pasal 11 Ayat (2) UU Karantina aja belum dibuat sampai hari ini, padahal itu sebagai dasar hukum pelaksanaan lockdown. Tapi pemerintah gak salah sih, soalnya penetapan peraturan pelaksana dari UU Karantina aja paling lambat 3 (tiga) tahun abis UU diundangkan. Virusnya aja yang datang ke Indonesia kecepetan~
BACA JUGA: MITIGASI CORONA SUDAH SAMPAI MANA?
Oke, lanjut. Jadi gimana sih konsep lockdown di Indonesia menurut UU Karantina? Konsepnya sih bisa dibaca di Pasal 53 sampai Pasal 55, di mana lockdown disebut dengan istilah “karantina wilayah”. Karantina wilayah sendiri merupakan salah satu dari tiga jenis karantina. Dua lainnya, yaitu karantina rumah dan karantina rumah sakit
Karantina wilayah diartikan oleh UU Karantina sebagai pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau komunikasi. Penetapan karantina wilayah didahului dengan penetapan status darurat kesehatan masyarakat oleh Pemerintah Pusat.
Nah, karantina wilayah itu dilakukan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium yang menyatakan telah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah itu. Dan lockdown gak pandang bulu, gaes. Jadi kalau misal suatu daerah, misalnya Jakarta dinyatakan lockdown, ya semua orang yang tinggal di Jakarta gak boleh keluar masuk wilayah Jakarta. Mau anak pejabat atau anak penjual bakso keliling, ya gak keluar masuk Jakarta.
Berdasarkan Pasal 10 UU Karantina, status darurat kesehatan masyarakat cuma bisa ditetapkan dan dicabut oleh Pemerintah Pusat. Kapan status itu dicabut? Belum tau. Masalahnya dalam Penjelasan Pasal 10 keterangannya cukup jelas, padahal blas gak jelas. Jadi kalau misal Pemerintah Pusat lupa mencabut status darurat kesehatan masyarakat, tapi secara kenyataan di lapangan udah gak darurat, ya tetep aja wilayah itu statusnya lockdown, heuheuheu.
Yang menarik itu ketentuan Pasal 55, yang dibilang kalo selama masa karantina wilayah, Pemerintah Pusat bertanggung jawab terhadap kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak. Sama nasibnya kayak Pasal 10 UU Karantina, Penjelasan Pasal 55 itu keterangannya cukup jelas padahal blas gak jelas. Padahal banyak banget pertanyaan yang bisa ditanyakan.
Contohnya aja deh, apa sih definisi kebutuhan hidup dasar? Apakah kuota internet masuk kebutuhan hidup dasar? Kalo masuk ya saya mau juga sih internet saya dibiayain negara, hahahaha. Selain definisi yang gak jelas itu, mari kita berandai-andai misal kebutuhan hidup dasar yang dimaksud itu terkait dengan makanan. Kalau memang yang dimaksud itu makanan, kira-kira makanan dalam bentuk yang kayak gimana? Apakah dalam bentuk bahan mentah, ransum ala-ala militer, nasi bungkus kayak nasi Padang, nasi kotak, atau prasmanan? Hayo, lho.
BACA JUGA: ONE HEALTH FOR ONE WORLD
Pertanyaan terakhir adalah kalau Pemerintah Pusat bertanggung jawab terhadap kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak, apakah itu berarti masyarakat yang ada di wilayah yang kena status karantina wilayah alias lockdown itu gak boleh keluar rumah? Kalau emang maksudnya biar masyarakat gak ada yang keluar rumah, emangnya pemerintah siap ngawasin itu semua? Kalo siap, gimana coba caranya?
Mau ngandalin pak polisi sama pak tentara? Kalo cuma satu kabupaten/kota atau satu provinsi sih masih bisa diharapkan buat ngawasi masyarakat kita yang kadang suka bandel gak taat aturan. Lha kalau satu negara dibuat lockdown? Ngawasinnya gimana? Yakin tuh cukup jumlah personil kepolisian sama TNI buat ngawasin lockdown di satu negara?
Saya rasa sih dari gonjang-ganjing perkara lockdown ini, kalo dilihat dari segi hukum banyak gak jelasnya. Yang cukup jelas dalam arti sesungguhnya cuma di Pasal 9 Ayat (1) soal kewajiban orang untuk mematuhi penyelenggaraan karantina, mau itu karantina wilayah, karantina rumah, maupun karantina rumah sakit, karena yang melanggar bisa terancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 93 yaitu pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Ealah, negara emang paling jelas kerjanya kalo perkara masukin orang ke penjara atau ngedenda orang. Mbok sesekali yang lain.