Lagi berantem sama orang? Lagi diem-dieman? Atau malah abis cakar-cakaran plus gebuk-gebukan? Lagi punya konflik? Hah, kamu harus baca artikel ini.
Kalian pasti sudah sering dong, denger kata ‘konflik.’ Biasanya sih, ketika kita mendengar kata ‘konflik,’ bayangan yang pertama kali ada di pikiran kita adalah hal-hal negatif seperti permusuhan, pertikaian dan kekerasan. Yaaa, pokoknya hal-hal negatif semacam itu. Padahal konflik itu juga bisa memiliki wajah yang positif, kayak kenangan. Wkwkwk, canda deng.
Tapi beneran loh, konflik punya sisi positif untuk menjadikan kita lebih kreatif, lebih berkembang dan menumbuhkan hal-hal positif lain untuk diri kita. Tetapi hal positif itu hanya akan terwujud jika kita mengubah mindset dalam memandang konflik.
Gini,
Setiap orang sudah pasti pernah mengalami konflik. Entah itu konflik dengan teman, keluarga, pacar, bahkan dengan sahabat sendiri.
Konflik itu ibarat jelangkung yang datang gak dijemput, pulang gak diantar. Tiba-tiba nongol aja. Nah, kalau kita gak siap, pasti kaget dan bingung dong.
BACA JUGA: DEAR AKTIVIS, AKTIVISM BUKAN CUMA DEMO
Ada yang menanggapi konflik dengan reaktif dan emosional, yang ujung-ujungnya malah jadi pertikaian, pertengkaran atau bahkan menjadikan lawan sebagai musuh bebuyutan.
Konflik gak selalu berujung negatif, jika bisa dikelola dengan positif. Jadi kuncinya yah, tetap pada diri kita sendiri. Mau bersiap menghadapi atau mau menghindari konflik.
Intinya konflik itu cepat atau lambat akan datang. Entah, dari sudut mana.
Terus, bagaimana dong bos, caranya menghadapi konflik?
Gini, ada istilah dari zaman kerajaan Majapahit yang bilang bahwa “Tak kenal maka tak kawin.” Jadi, sebelum belajar menghadapi konflik, kita mesti kenal dulu apa itu konflik.
Setelah memahami konflik, maka kita baru bisa belajar menghandle konflik.
Om Kriesberg sebagai salah satu pendekar konflik, pernah bilang bahwa cikal bakal konflik itu karena adanya tujuan yang berbeda dari dua atau lebih individu.
Jadi misal nih, misal aja, ente suka sama seseorang, tapi orang tersebut justru sukanya sama orang lain, itu nyesek banget kan.
Hal semacam itu bisa jadi cikal bakal konflik. Udah jelas tujuan kalian berdua berbeda kawan. Tapi ternyata perbedaan tujuan tidak cukup untuk mengangkat konflik ke permukaan.
Boulding, salah seorang teman seperguruannya Kriesberg, nambahin. Agar tercipta konflik, juga harus ada keinginan untuk menguasai atau berebut posisi yang tidak selaras dengan keinginan pihak lain.
Sederhananya, harus ada posisi yang direbutkan oleh dua orang atau lebih. Misal aja, sama sama berebut jadi kepala otorita ibu kota negara gitu. Hahahaha.
Awalnya mah, konflik muncul dalam hati doang. Eh, tapi dengan adanya keinginan untuk mewujudkan hal yang ada di dalam hati tersebut, maka konflik jadi muncul ke permukaan.
Misalnya gini, sewaktu sekolah dulu kita pernah punya keinginan dalam hati untuk jadi ketua geng sekolah biar terkenal dan disegani, plus jadi gampang deket sama cewek-cewek.
Tadinya menjadi wak geng cuma niat dalam hati, kemudian muncul keinginan kita untuk mewujudkan hal tersebut.
Sialnya, ketika kita ingin mewujudkan hal tersebut, ternyata ada beberapa teman-teman kita yang punya keinginan yang sama. Mereka juga pengen populer bukan lewat jalur prestasi.
Benturan kepentingan dan keinginan kita serta teman-teman yang sama-sama pengen jadi ketua geng tersebut akan mendorong terjadinya konflik.
Itu cuma contoh secuil konflik dalam dunia gengster anak sekolahan. Hahahahaha, konflik juga gak sesederhana itu. Tapi percaya deh, konflik sebesar apapun bisa berdampak positif jika dikelola dengan baik.
BACA JUGA: SANKSI HUKUM UNTUK PACAR YANG GAK BERTANGGUNG JAWAB
Untuk mengelola konflik menjadi hal yang positif, maka kita perlu mendalami konflik apa yang sedang kita hadapi. Kita harus mempelajari konflik dan mengambil sikap yang tepat dalam menghadapinya. Biar gak kaget lagi kayak lihat jelangkung tadi.
Cara sederhana untuk membuat konflik agar berdampak positif adalah, merubah mindset menjadikan konflik sebagai ‘alat’ untuk mendobrak hal-hal positif dalam diri kita.
Misalnya nih, setelah kita tau ada beberapa teman yang juga pengen jadi ketua geng di sekolah. Maka bisa kita identifikasi apa kelebihan dan kekurangan masing-masing kandidat.
Misalnya, diketahui kandidat A publik speakingnya kurang, kandidat B agak lemot, kandidat C kurang leadership.
Nah, biar kita bisa memenangkan pertarungan untuk menjadi ketua geng, maka kita harus mampu mengisi slot kekurangan kandidat lainnya.
Belajar publik speaking, berpikir lebih responsif dan menunjukkan jiwa leadership pasti naikin posisi tawar dan ngasih nilai plus buat kita jadi ketua geng.
Nah, soal berhasil apa ngga jadi ketua geng, itu jadi urusan ke-119. Yang penting, ada nilai positif yang kita dapatkan dalam konflik menjadi ketua geng. Positifnya kita jadi punya value yang baik.
Itu kan lebih baik daripada konflik memilih ketua geng ditentukan dengan cara berantem, sparing atau adu jotos. Hahahaha.
Kira-kira itulah contoh sederhana mengelola konflik. Kalo kita mampu mengelola konflik, maka niscaya kita juga akan berhasil menghindari perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Bener apa bener?