Apa saja resiko jadi pengacara? Yo, jelas banyak lah. Seperti kata pepatah, “Setiap pekerjaan dan profesi pasti ada resikonya.” Termasuk pengacara. Jadi tanpa dijabarin panjang lebar, pastinya kamu sudah ngerti, jadi pengacara itu penuh resiko.
Sebenarnya rada resiko juga loh, saya menulis tentang resiko jadi pengacara. Soalnya bagaimana pun saya masih berstatus anggota aktif perhimpunan advokat Indonesia versi Bang Otto Hasibuan yang kemarin sempat berseteru sama Bang HPH.
Takutnya dari tulisan ini, nanti ada pihak yang menganggap saya menjelek-jelekkan profesi sendiri.
Dan mereka ngejudge, “Kamu jadi pengacara, kok ngeluh sih! Pake mengumbar-umbar resiko yang dihadapi. Kalo kamu sudah gak sanggup jadi pengacara, sana jadi jaksa penuntut umum aja!”
Heh, boss. Kan pengacara dan jaksa penuntut umum itu sama-sama sebagai penegak hukum. Bedanya, pengacara mendapatkan honorarium dari kliennya. Sedangkan jaksa penuntut umum itu termasuk PNS yang mendapatkan gaji dari negara.
Pengacara sebagai penegak hukum
Jadi pengacara itu sejatinya sama seperti polisi, jaksa dan hakim selaku penegak hukum di negara Indonesia. Istilahnya empat profesi ini disebut sebagai Catur Wangsa Penegak Hukum Indonesia.
BACA JUGA: MAU JADI ADVOKAT, INI SYARATNYA!
Legitimasi pengacara atau advokat sebagai penegak hukum dapat kamu liat di UU No. 18 tahun 2003 Tentang Advokat. Dalam Pasal 5 Ayat (1) dijelaskan bahwa advokat yang juga pengacara termasuk sebagai penegak hukum.
Dari sini saya harap kamu sekalian paham dan bisa meraba, resiko apa saja yang sekiranya akan dialami oleh seorang pengacara ketika menjalankan profesinya.
Resiko jadi pengacara
Walaupun secara sumpah profesi saya baru empat tahun berpraktek menjadi pengacara, namun jika di runtut dari awal, sejak 2016 saya sudah bermain di lingkungan profesi ini.
Jadi ngomongin soal resiko jadi pengacara, setidaknya waktu enam tahun dapat dikatakan cukup untuk bisa berbicara soal resiko. Walaupun ini versi saya, yang baru seumur jagung menjadi pengacara.
Pertama, honorarium pengacara sangat abstract
Jika kamu mendambakan pekerjaan dengan gaji perbulan masuk ke rekening, saya langsung dengan keras mengatakan dunia pengacara tidak cocok untuk kamu. Pasalnya begini, honorarium pengacara itu tergantung kamu mendapatkan kasus atau tidak. Kalo dalam satu bulan kamu dapat kasus, yaa, mungkin setiap bulan kamu jadi ada pemasukan keuangan.
Tapi jika berbulan-bulan kamu tidak mendapatkan perkara, ya, bisa disimpulkan sendiri kabar dompet kamu kek mana.
Memang di bilangan Jakarta ada kantor pengacara yang berani menggaji perbulan para stafnya. Namun itu circle pengacara di Jakarta. Kalau di kota-kota lain jelas nasibnya tidak sama.
Kedua, jam kerja pengacara sesuka hatinya
Selanjutnya jika kamu memilih kerjaan yang normatif dengan waktu kerja berangkat Jam 9 pagi pulang Jam 5 sore, saya bisa bilang lagi, jadi pengacara gak cocok buat kamu.
Pasalnya sangat jelas, jam kerja pengacara sangatlah tidak teratur. Seperti ritme makan anak kos. Hari ini saja tepat di hari Rabu, 25 Mei 2022 sekira jam 20.23 WIB, saya masih bekerja sembari menulis artikel yang kamu baca.
BACA JUGA: PERSEPSI SALAH TENTANG PROFESI ADVOKAT
Padahal di luar sana, banyak sepantaran saya dengan profesi yang berbeda sedang istirahat bersama istri dan anaknya sembari nonton TV. Dan untuk pengacara, istirahat malam di waktu cepat merupakan sesuatu hil yang mustahal. Kecuali kalau memang pengacara yang sepi Job ya.
Ketiga, pengacara dicap glamor. Padahal, ya gitu deh ….
Mungkin tujuh dari 10 orang akan menganggap menjadi pengacara sudah pasti sukses, duitnya banyak dan mobilnya mewah. Namun faktanya tidak demikian loh. Karena image bahwa seorang pengacara itu ‘kaya’ merupakan sebuah beban bagi para pengacara junior.
Pasalnya kebanyakan orang berpikir, menjadi pengacara itu kaya, tolak ukurnya adalah Bang Hotman Paris, Bang Sunan Kalijaga, Bang Otto Hasibuan dan sederet abang-abangan awak di Jakarta sana.
Tapi itu kan yang terlihat di public, namun di balik itu juga masih ada pengacara yang masih kere. Dengan hartanya seperti barang-barang tua, kendaraan Honda Win dan sepatu vans slip-on black fullnya.
Jadi kalo ditanya resiko jadi pengacara versi saya, hal paling mendasar adalah tiga unsur di atas tadi. Perkara hal-hal lainnya, seperti ada ancaman lawan, baik ancaman nyata maupun ancaman ghoib. Itu tak perlu dipikirkan.
Dan jika kamu merasa tiga unsur di atas, bukan sesuatu yang menjadi resiko dan kamu mampu untuk menghadapinya. Maka sejatinya kamu wajib jadi pengacara. Tapi ingat, kamu harus lulus kuliah di fakultas hukum dulu. Terus ikut PKPA, ujian advokat dan magang di kantor pengacara ya pren.
Mas Muksin aku ko urung dadi pengacara padahal aku wes siap karo 3 resiko kui. Pie ki Peradi Kalteng wes suwe renek sumpah advokat, jadi belum tercapai cita cita di bio ig ke menjadi lawyer ? Sarane maseeeeh