Sebentar lagi Presiden Joko Widodo turun tahta bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Wait, wait, kata ‘tahta’ kok, vibesnya seperti monarki ya. Kita kan republik, bukan kerajaan. Bener sekali gaes ya, bentuk negara kita republik. Yang raib adalah nilai-nilai republikanisme.
Menjelang lengser, obrolan arus utama masih terus berkutat ke Jokowi dan dinasti politiknya serta pengungkapan berbagai dosa rezim Jokowi.
Eh, tapi kenapa sih, kita hanya fokus ke presiden. Bukankah pucuk pemerintahan itu presiden dan wapres? Kita tahu, wapres itu orang nomor dua di republik ini, seharusnya penting untuk dievaluasi juga.
Tapi apakah benar-benar penting? Ketika memori kolektif netizen dan citizen mengenai kinerja wapres tidak banyak. Jujurly, kalau ngomongin wapres, di kepalaku ada dua kata lucu. “AFK” dan “Yang penting ngomong.” Eh, maaf ini bukan dua kata tapi lebih.
Inget nggak, wapres pernah bilang Indonesia terjaga dari bahaya virus corona, karena doa qunut. Wapres menyebut pengusaha kecil jangan seperti stunting. Ketika berbicara soal diversifikasi pangan, wapres mengatakan dua buah pisang setara dengan satu porsi nasi. Hadeh!
BACA JUGA: APA SAJA TUGAS DAN WEWENANG PRESIDEN MENURUT HUKUM
Kehadiran wapres di publik sangat minim. Ketika pemerintahan ribut-ribut, wapresnya AFK. Istilah AFK (away from keyboard) dikenal dalam dunia game online yang dipakai kembali oleh netizen-citizen muda untuk menggambarkan absennya wapres dalam hiruk pikuk pemerintahan. Mahasiswa bahkan menjuluki wapres sebagai “Raja Diam” (The King of Silence). Bukan aku loh ya, yang bilang.
Tapi aku tidak menafikkan kinerja wapres kok. Betul kata jubirnya, semua yang dikerjakan wapres dipublikasikan di media, kecuali sebaliknya. Supaya tidak kosong-kosong amat, aku ingin memberitahu secara umum saja, bahwa selama ini wapres kita cukup banyak membantu di bidang pengentasan kemiskinan, ekonomi syariah dan industri halal hingga reformasi birokrasi. Di sektor-sektor tersebut, wapres melakukan banyak koordinasi dan intervensi. Untuk dampaknya, biar waktu yang menjawab. Bukan begitu?
Balik lagi ke pertanyaan mendasar sebelumnya, kenapa sorotan ke wapres tidak semasif presiden? Kita sama-sama tahu, posisi dan peranan wapres dalam sistem presidensial terbatas sekali. UUD 1945 saja tidak mengatur detail, diperparah belum ada UU Lembaga Kepresidenan.
Praktis, peranan wapres digantungkan pada penugasan presiden. Keduanya memang punya kedudukan yang setara, tapi tidak sama dalam kewenangan, berikut mainannya. Celakanya, kalau (ingat ya, kalau) presidennya mau mengontrol semuanya, maka wapres bisa berleha-leha.
Di akhir pemerintahan ini, aku merasa banyak hal yang belum selesai. Sebagai tokoh yang punya latar belakang keagamaan yang mumpuni, wapres kita tidak terlihat kontribusinya dalam memastikan terselenggaranya kebebasan beragama secara baik di Indonesia.
Menurut aku, wapres belum menjadi komunikator kebijakan publik yang baik hingga ke level akar rumput. Beliau juga belum menjadi mediator yang menghadirkan rasa nyaman dan adil. Dari bahasa komunikasi wapres, entah itu bahasa verbal dan non-verbal atau dalam konteks yang formal maupun informal kita tidak menemukannya juga.
Tapi aku tetap menaruh rasa hormat ke wapres, karena selama pengabdiannya beliau tidak eksesif. Wapres tidak menggunakan instrumen hukum dan kekuasaan negara untuk urusan pribadinya (vested interest). Tidak memperjuangkan dinasti politiknya dengan tidak merusak institusi hukum dan demokrasi. Menyala, Pak Wapres!