Benarkah advokat itu kebal hukum? Di mana dia tidak bisa diproses baik secara pidana dan/atau perdata ketika menjalankan tugas profesinya. Lewat artikel ini, yuk kenali sejauh mana batasan hak imunitas advokat sebagai penegak hukum.
Jika kamu membaca UU Advokat No. 18 Tahun 2003, Pasal 5 sudah terang menjelaskan bahwa profesi advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin hukum dan peraturan perundang-undangan.
Dampak advokat sebagai penegak hukum statusnya setara dengan Kepolisian RI, Kejaksaan RI dan hakim atau konsep ini biasa dikenal dengan catur wangsa penegak hukum Indonesia.
Penafsiran mendalam soal advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri, maka guna melaksanakan tugas dan profesinya, undang-undang memberikan hak imunitas kepadanya dengan ketentuan dan tata cara yang sudah diatur sedemikian rupa.
Mengenal Hak Imunitas Advokat
Secara ideologi dan sejarah, yang kemudian diadopsi International Bar Association di New York pada September 1990 menyebutkan, dalam menjalankan tugasnya, kebebasan advokat dan hak asasi manusia perlu dilindungi aturan hukum.
BACA JUGA: APA PERAN PENTING PENGACARA DALAM SISTEM PERADILAN?
Kemudian hasil konvensi IBA di New York, pada butir delapan menghasilkan gagasan seperti berikut.
“Seorang advokat tidak boleh dihukum atau diancam hukuman, baik itu pidana, perdata, administratif, ekonomi maupun sanksi dan intimidasi lain dalam pekerjaan membela dan memberi nasihat hukum kepada klien dan kepentingan klien secara sah.”
Pada hukum nasional, melalui Pasal 16 UU Advokat lebih spesifik mengatur hak imunitas yang berbunyi, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk pembelaan klien dalam sidang pengadilan.”
Selain Pasal 16 UU Advokat, pada Pasal 15 UU advokat juga memberikan perlindungan kepada advokat untuk bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Batasan Hak Imunitas Advokat
Walaupun secara ideologi hukum telah diatur tentang hak imunitas advokat dalam berpraktek, lantas tidak serta merta advokat bisa bebas dari jeratan hukum dan bertindak sesukanya.
Secara aturan masih terdapat batasan pemberlakuan hak imunitas advokat dalam menjalankan tugas dan fungsi, baik di luar maupun di dalam pengadilan, dengan catatan ketika berpraktek advokat tersebut tidak bertentangan dengan kode etik, prinsip itikad baik dan tidak melanggar aturan hukum lainnya.
Jika tiga konsep pembatasan hak imunitas ini dilanggar advokat, maka dengan jelas ketika dapat dibuktikan hak imunitas itu akan gugur.
Selain Pasal 6 UU Advokat, juga dijelaskan tentang advokat dapat dikenakan sanksi jika, mengabaikan atau menelantarkan kepentingan klien, bertingkah laku tidak patut kepada rekan sejawat, bersikap atau mengeluarkan pernyataan yang tidak hormat terhadap aturan hukum, berbuat tercela dan melanggar aturan hukum positif dan lain-lain.
BACA JUGA: ROBOT LAWYER DONOTPAY, IMPLEMENTABLE ATAU CUMA HYPE SEMATA?
Advokat yang Kehilangan Hak Imunitas
Jika kamu mencoba menelusuri advokat yang melanggar kode etik pada laman mesin pencarian google, maka akan keluar sederet persoalan yang menimpa advokat dengan beragam kasusnya yang mengakibatkan kehilangan hak imunitas.
Pertama, sekitar tahun 2018 Dewan Kehormatan Peradi telah memecat Fredrich Yunandi, yang dalam putusan sidang etik telah terbukti menelantarkan klien dan diberhentikan tetap karena Fredrich terbukti melakukan pelanggaran berat.
Kedua, sekira tahun 2019, sejumlah organisasi advokat beramai-ramai mengecam tindakan yang dilakukan Desrizal, yang memukul dua hakim menggunakan tali ikat pinggangnya menuai kecaman dari berbagai organisasi advokat.
Sejumlah organisasi advokat sepakat, bahwa tindakan pemukulan hakim dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran kode etik, penghinaan badan peradilan (contempt of court) dan masuk dalam perbuatan pidana.
Ketiga, sekira tahun 2020, Dewan Kehormatan Daerah PERADI DKI Jakarta menyampaikan amar putusan perkara dengan menjatuhkan hukuman kepada Soelaiman Djoyoatmojo, dengan pemberhentian sementara selama dua belas (12) bulan dari profesi advokat.
Dalam pemeriksaannya Soelaiman Djoyoatmojo selaku teradu terbukti bersalah melanggar Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) pada saat masa proses peradilan perkara PKPU PT. Mahakarya Agung Putera berlangsung.
Kongklusinya pren, advokat itu secara konstitusi diberikan hak imunitas untuk kebal hukum dan tidak bisa diidentikkan dengan kasus kliennya. Selagi dalam menjalankan profesinya tidak bertentangan dengan kode etik, itikad baik dan tidak melanggar undang-undang.