Kasus korupsi seakan tak pernah usai mewarnai pemberitaan di media massa. Para pelaku korupsi kerapkali justru mereka yang menempati posisi strategis dengan gaji yang terbilang cukup tinggi. Lalu mengapa sih, masih banyak oknum yang melakukan korupsi?
Nah, sebelum membahas lebih jauh, kita pahami dulu apa itu korupsi dan jenis tindak pidana korupsi. Mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2001, korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik perorangan maupun korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik itu politikus maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri atau orang lain secara tidak wajar dan tidak sah, yaitu dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Sesuai Pasal 30 di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, korupsi bisa dikategorikan menjadi tujuh jenis. Yaitu, kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi.
Himpitan ekonomi merupakan penyebab awal perilaku koruptif. Gaya hidup konsumtif kemudian menjerumuskan lebih banyak orang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Namun, peningkatan gaji dan remunerasi penyelenggara negara ternyata juga tidak efektif mencegah perilaku koruptif.
BACA JUGA: KORUPSI: KETIKA KEADILAN HANYA SEBATAS NADI TAK BERTUAN!
Faktanya, tak sedikit para koruptor yang tertangkap justru mereka yang diberikan gaji cukup besar oleh negara. Sebaliknya, yang tampak malah terjadi peningkatan gaya hidup dan nominal yang dikorupsi semakin bertambah.
Ada yang mengatakan bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Realitanya kita sudah memiliki berbagai perangkat hukum untuk memberantas korupsi yaitu peraturan perundang-undangan, lembaga serta aparat hukum baik kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kesemuanya dibentuk salah satunya untuk memberantas korupsi.
Namun apa yang terjadi? Korupsi tetap menjamur menggurita. Ironisnya, tak jarang kita dipertontonkan lembaga dan aparat yang telah ditunjuk tersebut dalam beberapa kasus justru ikut menumbuhsuburkan korupsi yang terjadi di Indonesia.
Berikut lima teori yang dapat digunakan untuk memahami sebab terjadinya korupsi, yaitu sebagai berikut.
1. Teori CDMA/ CDMA Theory
Teori ini diperkenalkan oleh Robert Klitgaard. Menurut teori ini, korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas.
Corruption = Directionary + Monopoly – Accountability (CDMA)
2. Teori GONE/ GONE Theory
Teori korupsi menurut Jack Bologne. Dikatakan, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs), dan pengungkapan (expose). Dalam teori ini, faktor keserakahan potensial dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi. Faktor kesempatan, berkaitan dengan keadaan organisasi, instansi, atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Faktor kebutuhan berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan individu untuk menunjang hidupnya yang wajar. Dan, faktor pengungkapan berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan.
GONE = Greed + Opportunity + Need + Expose
3. Teori korupsi menurut Donald R Cressey
Teori ini juga dikenal sebagai Fraud Triangle Theory. Menurut teori tersebut, tiga faktor yang berpengaruh terhadap fraud (kecurangan) adalah kesempatan, motivasi dan rasionalisasi. Ketiga faktor tersebut, menurut Cressey, memiliki derajat yang sama besar untuk saling mempengaruhi.
- Kesempatan atau Peluang. Terjadi karena lemahnya sistem.
- Motivasi atau Dorongan. Terjadi karena keserakahan atau kebutuhan hutang banyak serta gaya hidup mewah.
- Rasionalisasi atau Pembenaran.
Terjadi karena membahagiakan keluarga perusahaan sudah untung saya berjasa banyak orang lain juga melakukan.
4. Teori Willingness and Opportunity to Corrupt
Menurut teori ini, korupsi terjadi jika terdapat kesempatan atau peluang (kelemahan sistem, pengawasan kurang dan sebagainya) serta niat atau keinginan (didorong karena kebutuhan dan keserakahan).
5. Teori Cost-Benefit Model
Menurut teori ini, korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang didapat atau dirasakan lebih besar dari biaya atau risikonya. Kemasifan korupsi serta lemahnya ‘kesungguhan’ penegakan hukum seakan mengurangi efek takut dan jera para koruptor, menjadikan perilaku korup semakin terasa menggiurkan.
BACA JUGA: 5 PENYEBAB KORUPSI MAKIN MERAJALELA
Singkatnya, tidak ada jawaban tunggal dan sederhana untuk menjawab mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara. Korupsi layaknya penyakit kronis menggerogoti perekonomian sebuah negara secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek bidang kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas.
Banyak sekali hambatan dalam pemberantasan korupsi. Terlebih bila korupsi sudah terjadi secara sistemik mengakar dalam segala aspek kehidupan masyarakat di sebuah negara. Pemberantasan dan pencegahan secara formal sejauh ini belum memberikan hasil terbaiknya dalam memerangi korupsi.
Kendati demikian, semangat memberantas korupsi tidak boleh padam dari jiwa-jiwa generasi bangsa kita. Mulai dari diri sendiri, seperti halnya menanamkan sikap anti korupsi serta pentingnya moralitas dan integritas dalam menjalankan amanah yang diemban para pemangku kekuasaan.