Di tahun 2018, tempo.co pernah merilis sebuah artikel yang berjudul 70% “Pengacara Indonesia Hidup Pas-Pasan.” Apa masalahnya?
Nah, meskipun sudah tiga tahun berlalu, artikel tersebut menurutku masih relate dengan kenyataan hidup dunia pengacara saat ini. Dalam artikel tersebut, Bang Hotman Paris bilang “Di Jakarta tiap tahun bertambah pengacara sebanyak empat ribu orang. Hal ini akan membuat pengacara sulit mendapatkan klien. Tidak benar kalau sudah kerja sebagai pengacara itu sukses atau kaya.”
Selain itu, Bang Hotman juga bilang “Banyak pengacara yang standar keahliannya bukan di tempat yang bisa mendatangkan banyak uang seperti dalam perkara-perkara bisnis. Ia mengatakan, jika keahlian seorang pengacara hanya soal perceraian dan perzinaan, akan sulit bagi pengacara itu mewakili perusahaan-perusahaan raksasa dalam menghadapi persoalan hokum.”
Aku sih, setuju dengan pendapat Bang Hotman, walaupun sebagai pengacara ndeso aku punya analisa yang sedikit berbeda. Menurutku ada beberapa alasan kenapa pengacara Indonesia hidupnya pas-pasan. Begini alasannya:
1. Gak mau belajar
Kalo mau sukses, seorang pengacara kudu, wajib dan harus banget selalu belajar dan mengasah kemampuannya untuk menyelesaikan perkara hukum apapun. Bener banget kata Bang Hotman, kalo cuma ngurusin perkara cerai dan zinah, bagaimana bisa kaya. Pengacara harus mau belajar semua bidang hukum, misal hukum pajak, hukum perbankan, hukum internasional dan hukum-hukum lain yang super banyak.
Dalam artikel-artikel sebelumnya, aku dah sering bilang kalo semua lini kehidupan manusia itu pasti ada aspek hukumnya. So, kalo pengen dapet perkara beragam, pengacara ya kudu upgrade terus ilmu hukumnya. Kalo cuma taunya sidang cerai doang, yaa perkaranya cerai lagi, cerai lagi. Gituuu terus sampe pensiun.
2. Gak bekerja dengan profesional
Pengacara secara profesional disebut sebagai advokat. Cuma ntah kenapa, istilah pengacara kayaknya lebih familiar di masyarakat. Oke, kita sepakati bahwa pengacara di artikel ini lingkupnya adalah profesi advokat.
Namanya juga profesi kan, maka pekerjaannya juga harus dilakukan secara profesional. Yang dijual dalam profesi ini adalah skill, kemampuan dan integritas individual si advokat/pengacara.
Aku juga dah sampaikan berkali-kali, ketika seorang advokat menjalankan profesinya secara profesional, maka dia akan eksis, nama baik dan integritasnya akan selalu terjaga. Klien baru akan datang karena testimoni klien sebelum-sebelumnya. Gethok tular kalo istilah orang Jawa.
Kalo kerja si pengacara atau advokat gak profesional, klien bakal kecewa, ogah datang, boro-boro mau rekomendasiin ke orang lain. Kebayang gak, advokat yang kerjanya profesional aja susah dapet klien, ehh apalagi advokat yang namanya udah rusak porak-poranda, akibat kerjanya gak profesional.
3. Banting harga
Saking banyaknya pengacara di Indonesia, sekarang persaingan bisnis di dunia pengacara dah masuk kategori red ocean, berdarah-darah gaes. Saking parahnya, banyak pengacara yang banting harga, sampe nyungsep. Mereka berpikir, daripada gak ada pemasukan, mending dapet dah dikit-dikit buat uang jalan.
Nah, pemikiran kaya gini yang akhirnya membuat biaya jasa pengacara jadi nyungsep.
Masyarakat jadi berpikir, “Ahh, mending pake yang murah itu aja, lumayan daripada repot ke pengadilan.”
Padahal kalo dihitung, pendapatan perbulan pengacara berbiaya nyungsep gini, UMR Jogja pun nggak sampe. Lah,bayangin aja, ngerjain perkara cerai dibanderol 3 juta. Buat biaya panjer perkara anggap aja 800ribu. Nah, sisa lah 2,2juta. Ya buat beli meterai, buat print berkas, fotocopy, bensin, parkir dan jajan di kantin. Paling juga sisanya gak sampe 2 juta. Nah, sedangkan perkaranya berjalan tiga bulan. Kebayang gak, kerja tiga bulan, dapetnya cuma 2 juta kurang.
Jangan berpikir, “Itukan satu perkara, coba kalikan berapa perkara gitu.”
Ehhh, Boiii, nyari satu klien aja susah, jadi jangan berpikir pengacara itu kliennya bejibun, kecuali kalo emang udah terkenal. Tapi kalo uda terkenal, ngapain juga banting harga, pastilah makin terkenal, makin berharga.
So, jadi pengacara itu berat Boiii, harus siap kismin.
4. Masyarakat gak menghargai profesi advokat/pengacara
Nah, alasan ini menurutku emang bikin miris. Kalo di kampungku nan jauh di mato, pengacara tuh gak laku. Masyarakat di daerahku berpikir, lebih baik bayar oknum untuk menyelesaikan perkaranya, daripada pakai jasa pengacara.
Sumpah ini bahaya banget, selain membuat pengacara jadi gak berharga, niat menyuap oknum polisi, jaksa, hakim untuk menyelesaikan perkara membuat angka korupsi terus meningkat di Indonesia. Bahaya laten ini.
Oh ya, beda lagi dengan pengalamanku menjadi pengacara di kota besar. Di sini lebih sedih lagi. Ketika terjerat masalah hukum, masyarakat kota sadar butuh bantuan pengacara, mereka ingin mendapatkan bantuan dan pendampingan hukum dari pengacara, tapi pengennya gratisan aja.
“Ah, masa cuma konsultasi, ngobrol-ngobrol sama ngasih saran hukum doang, masak harus bayar sih. Gitu banget deh, perhitungan!!!” begitu kata mereka. Lah, gimana pengacara mau sejahtera, kalo kerjanya cuma dihargai 3M (makasih mas/mba).
5. Nasib
Alasan terakhir kenapa pengacara di Indonesia banyak yang hidupnya pas-pasan, ya karena emang udah nasibnya.
Ini sih, true story ya. Sebagai seorang pengacara, aku selalu berusaha upgrade skill hukum, selalu berusaha bekerja dengan profesional, selalu menjaga kredibilitas, udah lumayan terkenal lah (hahahahahha PD). Tapi ya, hidupnya masih pas-pasan. Yaaa, mungkin karena emang udah nasib kan. Hahahahahha. Pisss 🙂
Sangat masuk akal dan saya pun menyadari itu,
Liku liku pengacara yang berat, namun di anggap wah oleh sebagian masyarakat…..
Padahal hiiiiihhhhh
Bacanya ngeri2 sedep dah… Pengen ngakak tp miriss, so relate sama faktual d lapangan. Tapi kesimpulannya semua bisa dirubah kok klo ada niat, sepanjang bukan ‘takdir’ aja, it’s okay. Masih banyak kok field2 hukum yg isinya masih dikit, misalnya di bidang hukum pertambangan. Intinya harus banyak2 belajar dan kembangin softskill dalam menjaring link sosial deh. Klo nggak ada 2 2 nya dijamin bakal ambyarr😆
Mba pengacara tinggal dmna?