Setelah beberapa waktu yang lalu aku nulis artikel “3 Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata,” ehh ada pembaca yang inbox dan bertanya seputar hukum perdata. Nah, itu berarti ada yang belum clear dengan penjelasanku seputar hukum perdata. Tapi wajar aja sih, secara satu artikel, mana cukup untuk menjabarkan pelajaran 4 sks ini.
Kalo mau bahas materi detail dan formal tentang hukum perdata, ya tentu saja kita tinggal baca buku-buku hukum perdata. Nah, sedikit berbeda di tulisan ini, aku mau menjabarkan tiga fakta seputar hukum perdata yang sering terjadi sehari-hari, namun tidak kita sadari. Cekidot yooo.
Pertama, Sumber Hukumnya Peninggalan Belanda.
Sama seperti KUHPidana, hukum perdata di Indonesia juga menggunakan sumber hukum warisan Belanda. Sumber hukum perdata di Indonesia itu ada banyak dan tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Nah, secara umum ada beberapa aturan hukum perdata di Indonesia yang masih mengacu pada ketentuan hukum peninggalan Belanda, salah satunya Burgelik Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Btw, gak semua ketentuan yang diatur dalam KUPerdata masih dipakai ya, karena saat ini sudah banyak juga ketentuan-ketentuan hukum perdata yang diatur secara khusus dalam undang-undang. Misal nih, kayak perkawinan dan perceraian, sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan. Nah, dengan adanya ketentuan khusus tentang perkawinan, maka ketentuan yang mengatur tentang perkawinan dalam KUHPerdata dinyatakan sudah tidak berlaku lagi.
Tapi menurut aku sendiri, masih banyak juga loh, ketentuan dalam KUHPerdata yang legend dan tetap menjadi acuan, misalnya tentang hukum perikatan. Masalahnya, saat ini ketentuan tentang hukum perdata di Indonesia belum terkodifikasi, alias menyebar di berbagai peraturan. Jadi agak rempong nyarinya chynn.
Kedua, Gak Ada Hukuman Penjara.
Nah, kali ini aku mau ngasih sedikit pemahaman ke temen-temen yang masih suka salah kaprah. Jadi gak semua orang yang melanggar hukum itu bakal dipenjara.
Hukum perdata gak mengenal istilah sanksi penjara. Misalnya ada orang yang gak mampu bayar hutang, maka kemungkinan sanksinya itu denda, sita harta dan ganti rugi. Jadi sanksinya ya sesuai dengan putusan hakim gitu.
BACA JUGA: PROSES SIDANG PERDATA
Oh ya, ada tiga macem sanksi yang bisa dijatuhkan hakim dalam putusannya, yaitu:
- Putusan condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi kewajibannya. Contoh putusannya yaitu, yang kalah dihukum untuk membayar kerugian atau membayar denda.
- Putusan declaratoir yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang sah menurut hukum. Contoh putusannya yaitu, menyatakan bahwa si A adalah pemilik sah atas sebidang tanah.
- Putusan constitutif yaitu putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Contoh putusannya yaitu memutuskan ikatan perkawinan antara si A dan si B.
Nah, jadi saksi yang bisa dijatuhkan pada seseorang yang melanggar hukum perdata gak mungkin hukuman penjara ya gaes. Jangan salah kira lagi.
Ketiga, Ada Biaya Untuk Proses Hukumnya.
Nah, poin ketiga ini menurut aku yang paling penting untuk dipahami, karena ini adalah koenji.
Jika hakmu dilanggar, lalu kamu ingin mendapatkan keadilan melalui proses perdata, maka pastikan dulu untung ruginya. Kenapa begitu? Karena untuk proses dalam hukum perdata itu ada biayanya gengs.
Biayanya mahal murah itu emang relatif ya, tapi kita tetap harus berhitung dong, biar hasilnya gak zonk. Begini ilustrasinya. Si A tinggal di Jakarta, memberikan hutang sebesar 30 juta ke si B yang tinggal di Jogja. Lalu, si B ini gak bisa membayar hutang, dan ditagih-tagih sama si A, tetep gak mau bayar.
Si A berniat menggugat si B di Jogja. Si B ini kere hore, rumah ngontrak dan gak punya harta apapun. Nah, kalo uda begini, aku sangat tidak merekomendasikan si A untuk menggugat si B, kenapa? Karena proses ini hanya akan menghabiskan uang si A.
Si A harus mengeluarkan uang untuk modal mengajukan gugatan, tapi endingnya si A gak bakal dapat apa-apa, karena gak ada harta si B yang bisa disita. Buat apa menang di atas kertas, zonk juga kan. Udah piutang gak dibalikin, ehh mengeluarkan uang pula untuk membayar biaya panjer perkara dan operasional tiap minggu untuk sidang ke Jogja. Rugi dobel.
Kalo kita baca ketentuan Pasal 181 Ayat (1) HIR, maka hakim akan membebankan biaya perkara kepada pihak yang kalah. Tapi meskipun pada prinsipnya pihak yang kalah yang harus menanggung biaya berperkara, faktanya yang menggugat harus tetap deposit untuk membayar biaya panjer perkara. Udah gitu, jarang banget pihak tergugat mau membayar ganti biaya panjer perkara yang sudah dikeluarkan oleh penggugat. Makanya aku bilang tadi, pokoknya harus dihitung dulu untung ruginya kalo mau mengajukan suatu gugatan ya gaes.
Nah, itulah tiga fakta tentang hukum perdata buat intermezo kamu, iyaa kamu. Semoga bisa sedikit mencerahkan, secerah matahari pagi, eeaaaa. Apa sih, hahahaha.